Banyak
Wajah Kematian
Kematian adalah sebuah fenomena biologis, akan tetapi
kematian memiliki beberapa aspek antara lain:
1.
Konteks kultural
Konteks kultural mempengaruhi bagaimana kita mengekspresikan
rasa duka atau kehilangan orang yang dicintai atau rasa simpati bagi mereka
yang sekarat. Tiap-tiap negara dan kebudayaan punya cara masing-masing untuk
mengekspresikan hal tersebut dengan segala adat dan praktik yang ada guna
membantu orang menghadapi kematian dan duka cita yang memberi pegangan yang
kokoh untuk tetap kuat di tengah rasa kehilangan.
2.
Revolusi Mortalitas
Merupakan pergeseran historis akan kematian dan proses
kematian. Penyakit-penyakit yang awalnya menjadi penyebab kematian mulai
berubah menjadi penyakit yang bisa disembuhkan sehingga tidak lagi menyebabkan
kematian. Sehingga, terjadi revolusi dari faktor-faktor yang menyebabkan
kematian. Pada mulanya kematian dianggap sebagai kegagakan medis dalam
menangani sebuah penyakit tapi kini konteks kematian semakin meluas dimana kematian
dianggap sebagai fenomena akibat dari kekerasan, penyalahgunaan obat terlarang,
atau bunuh diri. Revolusi ini bisa jadi disebabkan oleh gaya hidup yang mulai
banyak mengutamakan kesehatan, tingkat stress, dan kemajuan-kemajuan dalam
pengobatan dan sanitasi.
3. Merawat
yang Sekarat
Akibat peningkatan kecenderungan menghadapi kematian dengan
lebih jujur, kini, muncul banyak perawatan hospice
dan kelompok dukungan self-help bagi
mereka yang sekarat dan keluarganya. Perawatan
hospiceadalah perawatan yang
berpusat pada pasien dan keluarga bagi mereka yang menderita penyakit tak
tersembuhkan. Perawatan tersebut fokus pada perawatan palliative : menurunkan
rasa sakit dan menderita, mengontrol simtom, mempertahankan kepuasan terhadap
kualitas kehidupan dan membuat pasien dapat meninggal dalam ketenangan dan
bermatabat.
ü
Menghadapi
Kematian dan Kehilangan : Isu Psikologis
Adapun beberapa isu psikologis antara
lain :
1. Menghadapi kematian
diri sendiri
Bagi beberapa atau sebagian besar orang
yang mendekati ajal, mereka akan mengalami “near-death”, yaitu seperti perasaan
keluar dari tubuh dan penampakan cahaya terang atau pengalaman-pengalaman
mistis tertentu. Selain itu, “near-death” juga membuat seseorang yang mendekati
ajal berpeluang untuk berbicara secara terbuka berkaitan dengan kondisi mereka
dan sadar bahwa mereka sudah mendekati kematian bahkan ketika mereka belum
diberitahukan. Fenomena “near-death” ini merupakan interperatsi dari hasil
perubahan psikologis yang menyertai proses menjelang ajal atau respon
psikologis akan ancaman kematian.
2. Pola kehilangan
Duka
adalah kehilangan karena kematian seseorang yang dirasakan dekat dengan yang
sedang berduka an proses peyesuaian diri kepada kehilangan. Duka menyebabkan
timbulnya Rasa Duka, yaitu respon
emosional yang dialami pada awal fase berduka. Untuk menghilangkan rasa duka,
kita membutuhkan Penyelesaian Duka,
yaitu pola penyelesaian masalah psikologis yang berkaitan dengan duka. Adapun
proses penyelesaian duka terbagi menjadi 3 tahap antara lain :
a. Shock dan tidak percaya
i.
Periode kelangsungan : beberapa minggu setelah kematian
ii.
Yang dirasakan : Rasa kehilangan yang mendalam, bingung, rasa
sedih yang mendalam dan menangis
b. Asik dengan kenangan mereka yang
meninggal
i.
Periode kelangsungan : enam bulan atau lebih
ii.
Yang dirasakan : Yang ditinggalkan mencoba menerima kematian
tetapi belum dapat menerimanya
c.
Resolusi
i.
Periode kelangsungan : setelah mampu menerima kematian
ii.
Yang dirasakan : orang yang berduka memperbarui ketertarikan
dalam aktivitas sehari-hari. Kenangan akan seseorang yang telah meninggal
menimbulkan perasaan cinta yang bercampur duka
3. Mitos dan Fakta tentang kematian
NO
|
MITOS
|
FAKTA
|
1.
|
Depresi
bukanlah sesuatu yang universal
|
Dari
dua minggu sampai 2 tahun pasca kehilangan umumnya sebagian besar orang
mengalami depresi
|
2.
|
Kegagalan
menunjukkan penderitaan di awal kehilangan tidak harus mengarah pada adanya
masalah
|
Mereka
yang sangat kecewa karena kehilangan baru merasa sangat bermasalah dua tahun
kemudian
|
3.
|
Tidak
semua orang harus berusaha mengatasi kehilangan atau akan mendapatkan manfaat
dari melakukan hal tersebut
|
Sebagian
orang yang melakukan pereda duka lebih intens memiliki lebih banyak masalah
di kemudian hari
|
4.
|
Tidak
semua orang kembali normal dengan cepat
|
Apabila
kematian berlangsung tiba-tiba umunya orang akan mengalami kecemasan tingkat
menengah sampai parah hingga empat tahun kemudian
|
5.
|
Orang-orang
tidak selalu dapat meredakan duka mereka dan menerima kehilangan
|
Tergantung.
Penerimaan bisa menjadi amat sulit ketika kehilangan bersifat ambigu.
|
Metode
Penyelesaian Kedukaan Klasik
Penyelesaian kedukaan (grief work)
adalah pemecahan berbagai persoalan yang berkaitan dengan kedukaan. (J.T Brown
dan Stoudemire,1983;R Schulz, 1978) membagi proses penyelesaian kedukaan
kedalam tiga tahapan, yaitu:
1. Terguncang dan tidak percaya. Setelah kematian, orang yang ditinggalkan merasa tersesat
dan bingung. Perasaan sedih yang
mendalam dan sering menangis. Tahap ini bertahan selama beberapa minggu,
terutama pada kematian mendadak.
2.
Terobsesi dengan kenangan orang yang sudah meninggal. Bertahan selama 6 bulan sampai 2 tahun atau lebih.
Berusaha menghadapai kematian tapi tidak bisa menerimanya. Terperangkap
perasaan bahwa orang itu masih hadir, hal ini akan berkurang seiring berjalannya
waktu. Namun dapat terulang kembali pada situasi tertentu.
3. Pemecahan.
Menyesuaikan kembali kehidupan dengan mengembangkan minat baru dalam kegiatan
sehari-hari.
Variasi
Majemuk: Berduka
Pola penyelesaian kedukaan tidak selalu
mengikuti garis lurus dari ketiga tahapan tsb, berbagai macam pola dikembangkan
melalui penelitian. Namun pola kedukaan yang paling lazim adalah seperti
berikut,
Pertama, depresi. Kedua, kesedihan yang
tinggi kemungkinan menjadi bermasalah sampai dua tahun kemudian. Ketiga,
beberapa orang yang melakukan pemecahan kedukaan yang intens memiliki lebih
banyak masalah dikemudian hari. Keempat, tidak semua orang kembali normal
dengan cepat. Kelima, orang-orang tidak selalu dapat menyelesaikan kedukaan dan
menerima kehilangan mereka. Dan sebuah penerimaan kehilangan mungkin sulit
ketika kehilangan tersebut tidak jelas, seperti ketika orang yang dicintai
hilang dan dianggap sudah meninggal.
Terapi
Kedukaan
Kebanyakan orang yang mengalami
kehilangan pada akhirnya terbiasa dengan kehilangan mereka dan kembali hidup normal. Namun
demikian beberapa orang memerlukan terapi
kedukaan(grief therapy) perawatan
untuk membantu coping mereka yang kehilangan.
Para
terapis mendorong para klien untuk mengkaji ulang hubungan dengan orang yang
sudah meninggal untuk mengintegrasikan kenyataan kematian kedalam hidup mereka.
Dalam membantu orang-orang menangani kedukaan, para konselor perlu mempertimbangkan
etnik dan tradisi keluarga serta perbedaan individual.
Orang-orang yang mengalami kedukaan
kronis mendapatkan perawatan dengan mengakui sentralitas kehilangan mereka dan
membantu mereka untuk memprosesnya, membangun harga diri, dan membangun kembali
kehidupan mereka. Intervensi yang memusatkan pada permasalahan emosional mereka
yang terus menerus dan membantu mereka dalam menghadapi tekanan sehari-hari.
KEMATIAN
DAN KEHILANGAN SEPANJANG RENTANG KEHIDUPAN
Berbagai perubahan tipikal dalam sikap
terhadap kematian sepanjang rentang kehidupan bergantung pada perkembangan
kognitif dan pada waktu peristiwa normatif atau nonnormatif.
Masa
Kanak-kanak dan Remaja
Antara
usia 5 dan 7 tahun kebanyakan anak bisa memahami bahwa kematian bersifat kekal,
bahwa orang yang sudah meninggal, hewan,
atau tumbuhan tidak dapat hidup kembali. Pada usia yang sama, anak-anak
memahami dua konsep penting mengenai kematian; pertama bahwa kematian universal
(semua benda hidup akan mati) dan tidak dapat dihindari. Kedua bahwa orang yang
sudah meninggal tidak berfungsi (semua fungsi kehidupan berakhir saat mati).
Konsep ini berkembang selama peralihan dari praoperational ke pemikiran
concrete operational, ketika konsep sebab-akibat menjadi lebih matang.
Bagi
anak-anak dengan kanker atau penyakit mematikan lainnya, kebutuhan untuk
memahami kematian lebih menekan dan lebih konkret. Namun biasanya orang tua
menghindari topik ini, mungkin karena kesulitan mereka dalam menerima
kemungkinan kehilangan. Dengan melakukan hal tersebut orang tua bisa kehilangan
peluang mempersiapkan anak dan keluarga secara emosional terhadap apa yang akan
terjadi (wolfe, 2004).
Anak-anak
terkadang mengungkapkan kedukaan melalui rasa marah, ledakan amarah yang
impulsif dan tidak terkendali, atau menolak mengakui kematian. Orang tua atau
pengasuh dewasa lainnya dapat membantu anak-anak menangani kehilangan dengan
membatu mereka memahami bahwa kematian merupakan hal yang tidak bisa dihindari
serta perilaku mereka yang buruk bukanlah penyebab kematian. Yakinkan kembali
bahwa mereka akan terus menerus menerima kasih sayang.
Tabel
19-3
|
Manifestasi
kedukaan pada Anak-anak
|
||
Dibawah
3 Tahun
|
3-5
Tahun
|
Anak-anak
Usia Sekolah
|
Remaja
|
Regresi
Kesedihan
Ketakutan
Kehilangan
selera makan
Gagal
berkembang
Gangguan
tidur
Menarik
diri dari pergaulan
Terhambatnyaperkembangan
Mudah
marah
Menangis
secara berlebihan
Ketergantungan
meningkat
Kehilangan
kempuan bicara
|
Aktivitas
meningkat
Sembelit
Malu
Mengompol
Marah
dan perilaku tantrum
Perilaku
“diluar kendali”
Mimpi
buruk
Sebentar-bentar
menangis
|
Kemerosotan prestasi sekolah disebabkan hilangnya
konsentrasi, kurangnya minat, gagal menyelesaikan tugas, dan mengkhayal
didalam kelas
Menolak
pergi kesekolah
Sebentar-bentar
menangis
Berbohong
Mencuri
Gugup
Sakit
didaerah perut
Sakit
kepala
Letih
Lelah
luar biasa
|
Depresi
Keluhan
somatis
Perilaku
kenakalan
Seks
bebas
Usaha
bunuh diri
Keluar
dari sekolah
|
Kematian
bukanlah sesuatu yang biasanya banyak dipikirkan kecuali mereka berhadapan
langsung dengannya, pada banyak komunitas dimana remaja (bahkan anak-anak yang
lebih muda) tinggal, kekerasan dan ancaman kematian merupakan fakta yang tidak
terhindarkan dari kehidupan sehari-hari mereka. Banyak remaja yang tidak
memedulikan resiko, dalam dorongan untukmenemukan dan mengungkapkan identitas
diri, mereka lebih peduli dengan bagaimana mereka hidup daripada berapa lama
mereka akan hidup.
Masa Dewasa
Dewasa awal yang telah menamatkan
pendidikannya dan telah memulai karier, pernikahan, atau menjadi orang tua
secara umum merasa antusias dalam menjalani hidup yang sudah mereka persiapkan.
Jika mendadak terkena penyakit atau cedera yang berpotensi mematikan, mereka
cenderung sangat frustasi.
Pada masa paruh baya, kebanyakan orang
sangat menyadari dari sebelumnya bahwa
mereka akan meninggal. Tubuh mereka mengirim isyarat bahwa mereka tidak semuda,
segesit, dan sekuat seperti dulu kala. Makin banyak mereka berpikir mengenai
berapa banyak waktu yang tersisa dan bagaimana memanfaatkan sisa waktu yang
ada. Sering kali (terutama setelah kematian orang tua) tumbuh kesadaran baru
sebagai generasi yang lebih tua yang menanti untuk meninggal.
Orang dewasa lansia bisa memiliki
perasaan bercampur mengenai kemungkinan meninggal. Kemunduran fisik dan
berbagai masalah lainnya serta berbagai kemunduran lansia bisa mengurangi
kesenangan mereka dalam hidup dan kehendak untuk hidup.
Ketika memikirkan kematiannya yang
sudah dekat, beberapa orang dewasa lansia mengungkapkan rasa takut. Lainnya,
terutama yang saleh, terlihat pada apa yang disebut kubler-Ross sebagai
penolakan.
Menurut Erikson, orang dewasa lansia
yang menyelesaikan alternative kritis akhir dari integrity versus despair mencapai penerimaan pada apa yang telah
mereka lakukan dengan hidup mereka dan kematian mereka yang sudah dekat. Satu
cara untuk mencapai resolusi ini adalah melalui kajian ulang kehidupan. Orang-orang yang merasa hidup mereka
bermakna dan menyesuaikan dengan kehilangan mereka mungkin lebih mampu untuk
menghadapi kematian.
BERBAGAI
KEHILANGAN KHUSUS
Kehilangan yang sulit terutama bisa
muncul selama masa dewasa adalah kematian pasangan hidup, orang tua, dan anak.
Kurang diperhatikan secara umum adalah kehilangan calon anak melalui keguguran
atau lahir mati.
Pasangan Hidup
yang Ditinggalkan
Oleh karena perempuan cenderung hidup
lebih lama dibandingkan laki-laki dan cenderung lebih muda daripada suami
mereka, mereka lebih mungkin menjanda. Mereka juga cenderung menjanda pada usia
lebih dini. Sepertiga perempuan kehilangan suami mereka pada usia 65 tahun,
tetapi tidak sampai 75 tahun dimana terdapat proporsi yang sama pada laki laki
untuk kehilangan istrinya.
Kualitas hubungan pernikahan yang telah
hilang mempengaruhi kadar menjanda/menduda yang mempengaruhi kesehatan mental.
Dalam penelitian CLOC yang telah dibahas sebelumnya, orang yang
menjanda/menduda yang sangat bergantung pada pasangan hidup mereka cenderung
menjadi lebih cemas dan lebih banyak merindukan pasangan mereka enam bulan
setelah kematiannya dibandingkan mereka yang tidak terlalu bergantung.
Stress menjanda/menduda bisa
mempengaruhi kesehatan fisik. Pada penelitian berskala besar terhadap
orang-orang finlandia, laki-laki yang kehilangan istri mereka dalam masa lima
tahun sebanyak 21 persen lebih mungkin meninggal dalam masa yang sama daripada
laki-laki yang tetap menikah, dan sebanyak 10 persen janda lebih mungkin
meninggal daripada perempuan yang tidak menjanda.
Menjanda/menduda
dapat menciptakan masalah praktis lainnya. Para janda yang suaminya merupakan
tulang punggung keluarga bisa mengalami kesulitan ekonomi atau jatuh miskin.
Ketika suami menduda, ia harus membeli banyak kebutuhan rumah tangga yang
dulunya disediakan oleh istrinya. Ketika kedua pasangan hidup bekerja,
kehilangan salah satu pendapatan dapat memberatkannya.
Kehilangan
Orang Tua pada Masa Dewasa
Sedikit perhatian diberikan mengenai
dampak kematian orang tua pada anak yang sudah dewasa. Kini, dengan harapan
hidup yang lebih panjang, kehilangan ini biasanya muncul pada usia paruh baya.
Dengan demikian, berbagai temuan dari penelitian MIDUS menyatakan, kehilangan
kedua orang tua pada masa dewasa awal merupakan pengalaman non-normatif yang
bisa mempengaruhi kesehatan mental atau fisik secara negative.
Tentu saja,kehilangan orang tua, kapan
pun itu, tidaklah mudah. Kebanyakan anak-anak dewasa yang kehilangan masih
mengalami kesedihan emosional, terutama setelah kehilangan ibu. Namun, kematian
orang tua dapat menjadi pengalaman yang mendewasakan. Hal ini dapat mendorong
orang dewasa menyelesaikan berbagai persoalan perkembangan yang penting, meraih
kesadaran diri yang lebih kuat dan lebih realistis serta menekan pada kematian
mereka sendiri, bersamaan dengan kesadaran tanggung jawab, komitmen, dan
kelekatan pada orang lain yang lebih besar.
Kematian orang tua sering kali membawa
perubahan dalam hubungan lainnya. Anak dewasa yang kehilangan bisa mengambil
lebih banyak tanggung jawab bagi orang tua yang ditinggalkan dan mempersatukan keluarga.
Emosi yang intens dari kehilangan bisa membuat saudara sekandung lebih dekat,
atau mereka bisa menjadi lebih terasing atas berbagai perbedaan yang muncul
selama orang tua sakit.
Kematian orang tua yang kedua dapat
memiliki dampak khusus yang besar. Anak dewasa bisa merasa kesadaran akan
kematian yang lebih tajam karena penengah generasi yang lebih tua sudah hilang.
Beberapa orang berbaikan dengan anak dewasa mereka sendiri. Terkadang saudara
sekandung yang memiliki hubungan yang renggang, menyadari bahwa tidak ada lagi
orang tua yang menjadi penghubung diantara mereka, berusaha memperbaiki
hubungan mereka.
Kehilangan
Anak
Zaman dahulu, kematian anak merupakan
hal yang lazim. Kini, dengan kemajuan medis dan meningkatnya harapan hidup pada
Negara-negara maju, tingkat kematian bayi mencapai rekor yang rendah, dan anak
yang bertahan hidup ditahun pertama kehidupan jauh lebih mungkin hidup hingga
tua.
Orang tua jarang mempersiapkan secara
emosional untuk kematian anak. Kematian itu, berapa pun usia terjadinya,
dianggap sebagai sesuatu yang kejam, terguncang, peristiwa yang terjadi terlalu
cepat, yang seharusnya belum terjadi. Kehilangan melemahkan dan pada akhirnya
menghancurkan pernikahan. Orang tua, terutama ibu yang kehilangan anak beresiko
tinggi dirawat di rumah sakit karena penyakit jiwa. Stress akibat kehilangan
bahkan dapat menyebabkan kematian orang tua.
Banyak orang tua bimbang untuk membahas
dengan anak yang menderita penyakit mematikan mengenai kematiannya, tetapi
mereka yang melakukannya cenderung mencapai perasaan keterbukaan yang membantu
mereka mengatasi kehilangan.
Meskipun setiap orang tua yang
kehilangan harus mengatasi kedukaan dengan cara mereka sendiri, beberapa telah
menemukan bahwa menceburkan diri ke dalam pekerjaan, minat, dan hubungan
lainnya atau bergabung dengan kelompok dukungan dapat meringankan rasa sakit.
Berduka
Karena Keguguran
Dinegara jepang terdapat ritual yang
bernama mizuko kuyo, upacara meminta
maaf dan mengenang, diamati sebagai cara untuk memperbaiki kesalahan pada mereka
yang digugurkan.
Kata dalam bahasa jepang mizuko berarti “anak air”. Kaum Buddha
jepang meyakini bahwa hidup mengalir ke organism secara bertahap, seperti air,
dan sebuah mizuko berada di suatu
tempat antara hidup dan mati. Sebaliknya, dalam bahasa inggris, tidak ada kata
untuk janin yang keguguran atau digugurkan, atau berbagai upacara berduka.
Keluarga, teman, dan professional kesehatan cenderung menghindar untuk
membicarakan tentang kehilangan tersebut, karena mereka sering kali menganggap
tidak penting dibandingkan dengan kehilangan anak yang hidup.
Dalam satu penelitian, sebelas laki-laki yang anak mereka meninggal
didalam kandungan dilaporkan mengatasi frustasi dan ketidakberdayaan selama dan
sesudah kelahiran, tetapi beberapa merasa teringankan dalam mendukung pasangan
mereka. Dalam penelitian lain, orang tua yang berduka mempersepsikan pasangan
hidup dan keluarga besar mereka sebagai orang yang paling membantu dan dokter
mereka sebagai yang paling tidak membantu. Berbagai perbedaan dalam cara laki-laki
dan perempuan berduka mungkin menjadi sumber ketegangan dan perselisihan dalam
hubungan pasangan. Pasangan yang telah mengalami kehilangan kandungan mungkin
membutuhkan perawatan yang ekstrasensitif selama masa kehamilan berikutnya.
Bunuh diri
Pengertian bunuh diri
Suatu upaya yang disadari dan bertujuan
untuk mengakhiri kehidupan, individu secara sadar dan berhasrat dan berupaya
melaksanakan hasratnya untuk mati. Perilaku bunuh diri meliputi
isyarat-isyarat, percobaan atau ancaman verbal, yang akan mengakibat kan
kematian, luka atau menyakiti diri sendiri.
Meskipun bunuh diri tidak lagi dianggap
tindak kejahatan, tetapi masih ada beberpa stigma yang menentangnya.Di banyak negara,
tingkat bunuh diri meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan proporsinya
lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan.
Sejauh ini tingkat bunuh diri tertinggi
ada pada laki-laki kulit putih berusia 50 tahun ke atas,Meskipun beberapa orang
yang berniat bunuh diri menyembunyikan rencana mereka secara hati-hati, 8 dari
10 orang yang bunuh diri memberikan tanda-tanda peringatan.Tanda-tanda tersebut
berupa menarik diri dari keluarga,teman, membicarakan kematian, alam baka atau
bunuh diri.
Bantuan dalam
Kematian
Bunuh diri berbantuan adalah bunuh diri
dimana dokter atau seseorang membantu orang lain untuk meninggal.
Eutanasia aktif (active euthanasia)
atau disebut juga pembunuhan belas kasihan. Merupakan tindakan langsung atau
sengaja yang dilakukan untuk memperpendek hidup dalam rangka mengakhiri
penderitaan seseorang yang menderita penyakit mematikan.
Euthanasia pasif ( passive euthanasia)
Merupakan penolakan atau penghentian perawatan yang memperpanjang hidup pasien
yang menderita penyakit mematikan dalam rangka mengakhiri penderitaannya atau
membuatnya meninggal dengan hormat.
Arahan Lanjut- wasiat hidup : dokumen
yang memerinci bentuk perawatan yang diinginkan oleh pembuatnya jika dalam
keadaan ketidakmampuan atau penyakit mematikan. Beberapa wasiat hidup berlaku
hanya pada para pasien dengan penyakit yang mematikan, bukan kepada mereka yang
lumpuh karena penyakit atau cedera tetapi bisa hidup bertahun-tahun dengan rasa
sakit yang parah.
Berbagai situasi tersebut dapat di
cakup oleh surat kuasa untuk waktu yg tidak di tentukan atau sebagai alat hukum
yang menunjuk seorang individu untuk membuat keputusan jika orang lain berada
dalam keadaan tidak mampu mengambil keputusan.
Bunuh Diri
berbantuan: Pro dan Kontra di AS
Para dokter diizinkan untuk memberi
obat-obatan yang bisa memperpendek hidup jika tujuannya adalah meringankan rasa
sakit (Gostin,1997) tetapi beberapa dokter menolak karena alasan etika pribadi
atau kedokteran.
Berbagai perdebatan etika mengenai
bunuh diri berbantuan didasarkan pada prinsip otonomi dan menentukan nasib
sendiri; bahwa orang yang mampu secara mental seharusnya memiliki hak untuk
mengendalikan kulitas hidup mereka sendiri serta waktu dan hakikat kematian
mereka.
Melegalkan
Bantuan Dokter Dalam Kematian
Pada bulan September tahun 1996,
pertama kalinya terdapat kasus dimana seorang pria Australia berusia 66 tahun
yang menderita kanker prostat stadium lanjut meninggal dunia dengan cara bunuh
diri berbantuan. Yang dimaksud dengan bunuh diri berbantuan adalah dimana
terdapat pasien yang menderita penyakit mematikan dan sudah tidak tahan akan
penderitaannya dilegalkan oleh undang-undang untuk meminta bantuan dokter dalam
mempercepat kematiannya.
Setahun kemudian Australia mencabut
undang-undang tersebut sementara Oregon, salah satu negara bagian Amerika
Serikat, satu-satunya yang justru mengesahkan adanya peraturan mengenai hal
tersebut yang kemudian dinamakan Death
With Dignity Act (Undang-Undang Kematian dengan Hormat). Walaupun kejaksaan
disana sudah berupaya menuntut dokter yang membantu pasien mengakhiri hidupnya,
namun pengadilan Oregon tetap menolaknya.
Berikutnya, bunuh diri berbantuan atau
eutanasia mulai dilegalkan di Belanda yang kemudian diikuti pula oleh Belgia.
Meskipun begitu, menurut pengamatan, para dokter di Belanda terlihat membantu
pasien dalam kematiannya dengan segan dan di bawah situasi yang memaksa. Hal
tersebut menuai banyak kritik dari warga negara lain bahwa eutanasia tidak
dikehendaki.
Keputusan
Mengakhiri Hidup dan Sikap Budaya
Penelitian representatif pertama
mengenai keputusan mengakhiri hidup pada enam negara Eropa menemukan faktor
perbedaan budaya yang penating. Ternyata berdasarkan kuisioner terbukti bahwa
para dokter dilaporkan menolak perawatan untuk memperpanjang hidup pasien.
Terutama di negara Belanda, Belgia dan Swiss, keputusan untuk mengakhiri hidup
lebih sering dibahas dengan pasien.
Tidak berbeda dengan pasien bayi yang
baru lahir. Praktik medis sekarang menerima pembatalan memperpanjang hidup bagi
bayi baru lahir dengan peluang hidup yang sedikit atau bayi yang lahir dengan
keabnormalan otak yang parah atau kerusakan organ yang meluas.
Eutanasia aktif pada bayi yang
diperkirakan tidak dapat bertahan hidup dengan rasa sakit atau penderitaan yang
tak tertahankan, tetap dilegalkan di Belanda sebagaimana di tempat lain. Dan
hal tersebut selalu disahkan oleh hukum. Kenyataan ini menunjukkan bahwa budaya
sebagian besar orang-orang Eropa dianggap tidak manusiawi dengan memberlakukan
adanya ‘pembunuhan’ yang legal. Tentunya ini sangat berbanding terbalik dengan
budaya kita di Indonesia yang hukumnya jelas-jelas melarang adanya eutanasia
yaitu melanggar hak asasi manusia yang berlaku.
Pilihan
Mengakhiri Hidup dan Berbagai Ragam Kepedulian
Banyaknya kontroversi dari berbagai
pihak mengenai bantuan dalam kematian tersebut telah menuntut perhatian pihak
kedokteran untuk perawatan pasien yang lebih baik dan perhatian terhadap
motivasi yang dapat membantu menguatkan mental pasien. Misalnya, ketika dokter
sedang berbicara secara terbuka dengan pasiennya, dimana dijelaskan dengan
rinci bagaimana keadaan pasiennya tersebut, maka dokter seharusnya dapat
melakukan suatu cara yang membantu pasien mengurangi kekhawatiran itu tanpa
harus mengakhiri hidupnya.
Di
negara yang masyarakatnya terdiri dari beragam etnis, masalah yang dihadapi
pasien dalam pengambilan keputusan mengakhiri hidup, tidak boleh mengabaikan
aturan sosial dan keragaman budaya disana. Sebagai contoh, kaum Afrika-Amerika
lebih memilih perawatan untuk mempertahankan hidup dengan mengabaikan keadaan penyakitnya,
dibandingkan kaum Eropa-Amerika.
Menemukan
Makna Serta Tujuan Hidup Dan Mati
Menurut Kubler-Ross (1975) mengatakan
bahwa menghadapi kenyataan akan kematian merupakan kunci hidup dengan penuh
makna :
“ Pengingkaran akan kematianlah yang sebagian
bertanggung jawab atas kehidupan kosong (orang-orang), hidup tanpa tujuan; bagi
mereka yang ketika hidup, hidup seperti layaknya akan hidup selamanya, menjadi
terlalu mudah untuk menunda hal-hal yang mereka tahu harus mereka kerjakan.
Sebaliknya, ketika mereka benar-benar memahami bahwa setiap hari mereka
terbangun dengan kesadaran bahwa ini adalah hari terakhir mereka untuk hidup,
mereka akan memanfaatkan sisa waktu untuk tumbuh lebih menjadi diri sendiri,
untuk mendekati manusia lain.”
Bahkan berdasarkan penelitian,
orang-orang yang memandang kehidupan itu mempunyai tujuan akhir, setidaknya
akan merasakan sedikit rasa ketakutan akan kematian.
Mengkaji
Ulang Kehidupan
Kajian ulang kehidupan atau Life Review adalah sebuah proses
kenangan seseorang di masa lalunya yang memungkinkan dirinya melihat
kebermaknaan hidupnya sampai saat ini.
Terkadang kajian ulang kehidupan lebih
mempunyai makna khusus bagi orang-orang lansia. Dikarenakan ia dapat
mengembangkan integritas egonya sebagai tugas akhir dari rentang kehidupan,
menurut teori Erikson. Kesadaran akan kematian akan memotivasi seseorang untuk
mengkaji ulang nilai dan pengalaman hidupnya, dan menemukan semangat kembali
untuk memperbaiki apa yang salah dan menyelesaikan apa yang belum terlaksana.
Karenanya, manfaat paling utama dari kajian ulang kehidupan adalah untuk
membantu membuat seseorang lebih sadar akan hidup, memiliki tujuan, dan
efisien.
Perkembangan
: Proses Seumur Hidup
Detik-detik seseorang menjelang
kematiannya atau biasa disebut sekarat, dapat menjadi sebuah pengalaman dalam
perkembangan seseorang. Mengapa? Dalam rentang kehidupan yang terbatas, tidak
ada seorang pun yang benar-benar menyadari seluruh kemampuannya, atau memuaskan
semua hasratnya, atau melakukan semua hal yang diminatinya, bahkan tidak
benar-benar mendapatkan seluruh kekayaan dalam hidupnya.
Manusia selalu dihadapkan pada
kesulitan menentukan pilihan hidupnya yang sangat banyak sementara ia tahu
bahwa waktu hidupnya adalah terbatas. Dengan memilih sesuatu yang menjadi
tujuannya, kemudian melanjutkannya sampai akhir, maka setiap manusia telah
membuat kisah yang tidak terselesaikan dari perkembangan manusia.
DAFTAR
PUSTAKA
Sandtrock, JW.2007.Perkembangan
Remaja.Jakarta: Salemba Humanika
Papalia, Olds. Felman.2009. HUMAN DEVELOPMENT
Perkembangan Manusia.Jakarta: Salemba Humanika
http://kajianpsikologi.blogspot.com/p/regulasi-praktek-euthanasia.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar