Rabu, 21 Maret 2012

Akhir Masa Kehidupan

Banyak Wajah Kematian
Kematian adalah sebuah fenomena biologis, akan tetapi kematian memiliki beberapa aspek antara lain:
1. Konteks kultural
Konteks kultural mempengaruhi bagaimana kita mengekspresikan rasa duka atau kehilangan orang yang dicintai atau rasa simpati bagi mereka yang sekarat. Tiap-tiap negara dan kebudayaan punya cara masing-masing untuk mengekspresikan hal tersebut dengan segala adat dan praktik yang ada guna membantu orang menghadapi kematian dan duka cita yang memberi pegangan yang kokoh untuk tetap kuat di tengah rasa kehilangan.
2. Revolusi Mortalitas
Merupakan pergeseran historis akan kematian dan proses kematian. Penyakit-penyakit yang awalnya menjadi penyebab kematian mulai berubah menjadi penyakit yang bisa disembuhkan sehingga tidak lagi menyebabkan kematian. Sehingga, terjadi revolusi dari faktor-faktor yang menyebabkan kematian. Pada mulanya kematian dianggap sebagai kegagakan medis dalam menangani sebuah penyakit tapi kini konteks kematian semakin meluas dimana kematian dianggap sebagai fenomena akibat dari kekerasan, penyalahgunaan obat terlarang, atau bunuh diri. Revolusi ini bisa jadi disebabkan oleh gaya hidup yang mulai banyak mengutamakan kesehatan, tingkat stress, dan kemajuan-kemajuan dalam pengobatan dan sanitasi.
3. Merawat yang Sekarat
Akibat peningkatan kecenderungan menghadapi kematian dengan lebih jujur, kini, muncul banyak perawatan hospice dan kelompok dukungan self-help bagi mereka yang sekarat dan keluarganya. Perawatan hospiceadalah perawatan yang berpusat pada pasien dan keluarga bagi mereka yang menderita penyakit tak tersembuhkan. Perawatan tersebut fokus pada perawatan palliative : menurunkan rasa sakit dan menderita, mengontrol simtom, mempertahankan kepuasan terhadap kualitas kehidupan dan membuat pasien dapat meninggal dalam ketenangan dan bermatabat.

ü Menghadapi Kematian dan Kehilangan : Isu Psikologis
Adapun beberapa isu psikologis antara lain :
1. Menghadapi  kematian diri sendiri
Bagi beberapa atau sebagian besar orang yang mendekati ajal, mereka akan mengalami “near-death”, yaitu seperti perasaan keluar dari tubuh dan penampakan cahaya terang atau pengalaman-pengalaman mistis tertentu. Selain itu, “near-death” juga membuat seseorang yang mendekati ajal berpeluang untuk berbicara secara terbuka berkaitan dengan kondisi mereka dan sadar bahwa mereka sudah mendekati kematian bahkan ketika mereka belum diberitahukan. Fenomena “near-death” ini merupakan interperatsi dari hasil perubahan psikologis yang menyertai proses menjelang ajal atau respon psikologis akan ancaman kematian.
2. Pola kehilangan
Duka adalah kehilangan karena kematian seseorang yang dirasakan dekat dengan yang sedang berduka an proses peyesuaian diri kepada kehilangan. Duka menyebabkan timbulnya Rasa Duka, yaitu respon emosional yang dialami pada awal fase berduka. Untuk menghilangkan rasa duka, kita membutuhkan Penyelesaian Duka, yaitu pola penyelesaian masalah psikologis yang berkaitan dengan duka. Adapun proses penyelesaian duka terbagi menjadi 3 tahap antara lain :

a.       Shock dan tidak percaya
                                                               i.      Periode kelangsungan       : beberapa minggu setelah kematian
                                                           ii.      Yang dirasakan               : Rasa kehilangan yang mendalam, bingung, rasa sedih yang mendalam dan menangis
b.       Asik dengan kenangan mereka yang meninggal
                                                               i.      Periode kelangsungan       : enam bulan atau lebih
                                                              ii.      Yang dirasakan                   : Yang ditinggalkan mencoba menerima kematian tetapi belum dapat menerimanya
c.        Resolusi
                                                               i.      Periode kelangsungan       : setelah mampu menerima kematian
                                                              ii.      Yang dirasakan                   : orang yang berduka memperbarui ketertarikan dalam aktivitas sehari-hari. Kenangan akan seseorang yang telah meninggal menimbulkan perasaan cinta yang bercampur duka

3.       Mitos dan Fakta tentang kematian
NO
MITOS
FAKTA
1.
Depresi bukanlah sesuatu yang universal
Dari dua minggu sampai 2 tahun pasca kehilangan umumnya sebagian besar orang mengalami depresi
2.
Kegagalan menunjukkan penderitaan di awal kehilangan tidak harus mengarah pada adanya masalah
Mereka yang sangat kecewa karena kehilangan baru merasa sangat bermasalah dua tahun kemudian
3.
Tidak semua orang harus berusaha mengatasi kehilangan atau akan mendapatkan manfaat dari melakukan hal tersebut
Sebagian orang yang melakukan pereda duka lebih intens memiliki lebih banyak masalah di kemudian hari
4.
Tidak semua orang kembali normal dengan cepat
Apabila kematian berlangsung tiba-tiba umunya orang akan mengalami kecemasan tingkat menengah sampai parah hingga empat tahun kemudian
5.
Orang-orang tidak selalu dapat meredakan duka mereka dan menerima kehilangan
Tergantung. Penerimaan bisa menjadi amat sulit ketika kehilangan bersifat ambigu.


Metode Penyelesaian Kedukaan Klasik
Penyelesaian kedukaan (grief work) adalah pemecahan berbagai persoalan yang berkaitan dengan kedukaan. (J.T Brown dan Stoudemire,1983;R Schulz, 1978) membagi proses penyelesaian kedukaan kedalam tiga tahapan, yaitu:
1.       Terguncang dan tidak percaya. Setelah kematian, orang yang ditinggalkan merasa tersesat dan bingung.  Perasaan sedih yang mendalam dan sering menangis. Tahap ini bertahan selama beberapa minggu, terutama pada kematian mendadak.
2.       Terobsesi dengan kenangan orang yang sudah meninggal. Bertahan selama 6 bulan sampai 2 tahun atau lebih. Berusaha menghadapai kematian tapi tidak bisa menerimanya. Terperangkap perasaan bahwa orang itu masih hadir, hal ini akan berkurang seiring berjalannya waktu. Namun dapat terulang kembali pada situasi tertentu.
3.       Pemecahan. Menyesuaikan kembali kehidupan dengan mengembangkan minat baru dalam kegiatan sehari-hari.
Variasi Majemuk: Berduka
Pola penyelesaian kedukaan tidak selalu mengikuti garis lurus dari ketiga tahapan tsb, berbagai macam pola dikembangkan melalui penelitian. Namun pola kedukaan yang paling lazim adalah seperti berikut,
Pertama, depresi. Kedua, kesedihan yang tinggi kemungkinan menjadi bermasalah sampai dua tahun kemudian. Ketiga, beberapa orang yang melakukan pemecahan kedukaan yang intens memiliki lebih banyak masalah dikemudian hari. Keempat, tidak semua orang kembali normal dengan cepat. Kelima, orang-orang tidak selalu dapat menyelesaikan kedukaan dan menerima kehilangan mereka. Dan sebuah penerimaan kehilangan mungkin sulit ketika kehilangan tersebut tidak jelas, seperti ketika orang yang dicintai hilang dan dianggap sudah meninggal.


Terapi Kedukaan
Kebanyakan orang yang mengalami kehilangan pada akhirnya terbiasa dengan kehilangan  mereka dan kembali hidup normal. Namun demikian beberapa orang memerlukan terapi kedukaan(grief therapy) perawatan untuk membantu coping mereka yang kehilangan.
                Para terapis mendorong para klien untuk mengkaji ulang hubungan dengan orang yang sudah meninggal untuk mengintegrasikan kenyataan kematian kedalam hidup mereka. Dalam membantu orang-orang menangani kedukaan, para konselor perlu mempertimbangkan etnik dan tradisi keluarga serta perbedaan individual.
Orang-orang yang mengalami kedukaan kronis mendapatkan perawatan dengan mengakui sentralitas kehilangan mereka dan membantu mereka untuk memprosesnya, membangun harga diri, dan membangun kembali kehidupan mereka. Intervensi yang memusatkan pada permasalahan emosional mereka yang terus menerus dan membantu mereka dalam menghadapi tekanan sehari-hari.

KEMATIAN DAN KEHILANGAN SEPANJANG RENTANG KEHIDUPAN
Berbagai perubahan tipikal dalam sikap terhadap kematian sepanjang rentang kehidupan bergantung pada perkembangan kognitif dan pada waktu peristiwa normatif atau nonnormatif.
Masa Kanak-kanak dan Remaja
                Antara usia 5 dan 7 tahun kebanyakan anak bisa memahami bahwa kematian bersifat kekal, bahwa orang  yang sudah meninggal, hewan, atau tumbuhan tidak dapat hidup kembali. Pada usia yang sama, anak-anak memahami dua konsep penting mengenai kematian; pertama bahwa kematian universal (semua benda hidup akan mati) dan tidak dapat dihindari. Kedua bahwa orang yang sudah meninggal tidak berfungsi (semua fungsi kehidupan berakhir saat mati). Konsep ini berkembang selama peralihan dari praoperational ke pemikiran concrete operational, ketika konsep sebab-akibat menjadi lebih matang.
                Bagi anak-anak dengan kanker atau penyakit mematikan lainnya, kebutuhan untuk memahami kematian lebih menekan dan lebih konkret. Namun biasanya orang tua menghindari topik ini, mungkin karena kesulitan mereka dalam menerima kemungkinan kehilangan. Dengan melakukan hal tersebut orang tua bisa kehilangan peluang mempersiapkan anak dan keluarga secara emosional terhadap apa yang akan terjadi (wolfe, 2004).
                Anak-anak terkadang mengungkapkan kedukaan melalui rasa marah, ledakan amarah yang impulsif dan tidak terkendali, atau menolak mengakui kematian. Orang tua atau pengasuh dewasa lainnya dapat membantu anak-anak menangani kehilangan dengan membatu mereka memahami bahwa kematian merupakan hal yang tidak bisa dihindari serta perilaku mereka yang buruk bukanlah penyebab kematian. Yakinkan kembali bahwa mereka akan terus menerus menerima kasih sayang.
Tabel 19-3
Manifestasi kedukaan pada Anak-anak
Dibawah 3 Tahun
3-5 Tahun
Anak-anak Usia Sekolah
Remaja
Regresi
Kesedihan
Ketakutan
Kehilangan selera makan
Gagal berkembang
Gangguan tidur
Menarik diri dari pergaulan
Terhambatnyaperkembangan
Mudah marah
Menangis secara berlebihan
Ketergantungan meningkat
Kehilangan kempuan bicara

Aktivitas meningkat
Sembelit
Malu
Mengompol
Marah dan perilaku tantrum
Perilaku “diluar kendali”
Mimpi buruk
Sebentar-bentar menangis
Kemerosotan  prestasi sekolah disebabkan hilangnya konsentrasi, kurangnya minat, gagal menyelesaikan tugas, dan mengkhayal didalam kelas
Menolak pergi kesekolah
Sebentar-bentar menangis
Berbohong
Mencuri
Gugup
Sakit didaerah perut
Sakit kepala
Letih
Lelah luar biasa
Depresi
Keluhan somatis
Perilaku kenakalan
Seks bebas
Usaha bunuh diri
Keluar dari sekolah
               
Kematian bukanlah sesuatu yang biasanya banyak dipikirkan kecuali mereka berhadapan langsung dengannya, pada banyak komunitas dimana remaja (bahkan anak-anak yang lebih muda) tinggal, kekerasan dan ancaman kematian merupakan fakta yang tidak terhindarkan dari kehidupan sehari-hari mereka. Banyak remaja yang tidak memedulikan resiko, dalam dorongan untukmenemukan dan mengungkapkan identitas diri, mereka lebih peduli dengan bagaimana mereka hidup daripada berapa lama mereka akan hidup.

Masa Dewasa
Dewasa awal yang telah menamatkan pendidikannya dan telah memulai karier, pernikahan, atau menjadi orang tua secara umum merasa antusias dalam menjalani hidup yang sudah mereka persiapkan. Jika mendadak terkena penyakit atau cedera yang berpotensi mematikan, mereka cenderung sangat frustasi.
Pada masa paruh baya, kebanyakan orang sangat menyadari  dari sebelumnya bahwa mereka akan meninggal. Tubuh mereka mengirim isyarat bahwa mereka tidak semuda, segesit, dan sekuat seperti dulu kala. Makin banyak mereka berpikir mengenai berapa banyak waktu yang tersisa dan bagaimana memanfaatkan sisa waktu yang ada. Sering kali (terutama setelah kematian orang tua) tumbuh kesadaran baru sebagai generasi yang lebih tua yang menanti untuk meninggal.
Orang dewasa lansia bisa memiliki perasaan bercampur mengenai kemungkinan meninggal. Kemunduran fisik dan berbagai masalah lainnya serta berbagai kemunduran lansia bisa mengurangi kesenangan mereka dalam hidup dan kehendak untuk hidup.
Ketika memikirkan kematiannya yang sudah dekat, beberapa orang dewasa lansia mengungkapkan rasa takut. Lainnya, terutama yang saleh, terlihat pada apa yang disebut kubler-Ross sebagai penolakan.
Menurut Erikson, orang dewasa lansia yang menyelesaikan alternative kritis akhir dari integrity versus despair mencapai penerimaan pada apa yang telah mereka lakukan dengan hidup mereka dan kematian mereka yang sudah dekat. Satu cara untuk mencapai resolusi ini adalah melalui kajian ulang kehidupan. Orang-orang yang merasa hidup mereka bermakna dan menyesuaikan dengan kehilangan mereka mungkin lebih mampu untuk menghadapi kematian.

BERBAGAI KEHILANGAN KHUSUS
Kehilangan yang sulit terutama bisa muncul selama masa dewasa adalah kematian pasangan hidup, orang tua, dan anak. Kurang diperhatikan secara umum adalah kehilangan calon anak melalui keguguran atau lahir mati.

Pasangan Hidup yang Ditinggalkan
Oleh karena perempuan cenderung hidup lebih lama dibandingkan laki-laki dan cenderung lebih muda daripada suami mereka, mereka lebih mungkin menjanda. Mereka juga cenderung menjanda pada usia lebih dini. Sepertiga perempuan kehilangan suami mereka pada usia 65 tahun, tetapi tidak sampai 75 tahun dimana terdapat proporsi yang sama pada laki laki untuk kehilangan istrinya.
Kualitas hubungan pernikahan yang telah hilang mempengaruhi kadar menjanda/menduda yang mempengaruhi kesehatan mental. Dalam penelitian CLOC yang telah dibahas sebelumnya, orang yang menjanda/menduda yang sangat bergantung pada pasangan hidup mereka cenderung menjadi lebih cemas dan lebih banyak merindukan pasangan mereka enam bulan setelah kematiannya dibandingkan mereka yang tidak terlalu bergantung.
Stress menjanda/menduda bisa mempengaruhi kesehatan fisik. Pada penelitian berskala besar terhadap orang-orang finlandia, laki-laki yang kehilangan istri mereka dalam masa lima tahun sebanyak 21 persen lebih mungkin meninggal dalam masa yang sama daripada laki-laki yang tetap menikah, dan sebanyak 10 persen janda lebih mungkin meninggal daripada perempuan yang tidak menjanda.
Menjanda/menduda dapat menciptakan masalah praktis lainnya. Para janda yang suaminya merupakan tulang punggung keluarga bisa mengalami kesulitan ekonomi atau jatuh miskin. Ketika suami menduda, ia harus membeli banyak kebutuhan rumah tangga yang dulunya disediakan oleh istrinya. Ketika kedua pasangan hidup bekerja, kehilangan salah satu pendapatan dapat memberatkannya.

Kehilangan Orang Tua pada Masa Dewasa
Sedikit perhatian diberikan mengenai dampak kematian orang tua pada anak yang sudah dewasa. Kini, dengan harapan hidup yang lebih panjang, kehilangan ini biasanya muncul pada usia paruh baya. Dengan demikian, berbagai temuan dari penelitian MIDUS menyatakan, kehilangan kedua orang tua pada masa dewasa awal merupakan pengalaman non-normatif yang bisa mempengaruhi kesehatan mental atau fisik secara negative.
Tentu saja,kehilangan orang tua, kapan pun itu, tidaklah mudah. Kebanyakan anak-anak dewasa yang kehilangan masih mengalami kesedihan emosional, terutama setelah kehilangan ibu. Namun, kematian orang tua dapat menjadi pengalaman yang mendewasakan. Hal ini dapat mendorong orang dewasa menyelesaikan berbagai persoalan perkembangan yang penting, meraih kesadaran diri yang lebih kuat dan lebih realistis serta menekan pada kematian mereka sendiri, bersamaan dengan kesadaran tanggung jawab, komitmen, dan kelekatan pada orang lain yang lebih besar.
Kematian orang tua sering kali membawa perubahan dalam hubungan lainnya. Anak dewasa yang kehilangan bisa mengambil lebih banyak tanggung jawab bagi orang tua yang ditinggalkan dan mempersatukan keluarga. Emosi yang intens dari kehilangan bisa membuat saudara sekandung lebih dekat, atau mereka bisa menjadi lebih terasing atas berbagai perbedaan yang muncul selama orang tua sakit.
Kematian orang tua yang kedua dapat memiliki dampak khusus yang besar. Anak dewasa bisa merasa kesadaran akan kematian yang lebih tajam karena penengah generasi yang lebih tua sudah hilang. Beberapa orang berbaikan dengan anak dewasa mereka sendiri. Terkadang saudara sekandung yang memiliki hubungan yang renggang, menyadari bahwa tidak ada lagi orang tua yang menjadi penghubung diantara mereka, berusaha memperbaiki hubungan mereka.
Kehilangan Anak
Zaman dahulu, kematian anak merupakan hal yang lazim. Kini, dengan kemajuan medis dan meningkatnya harapan hidup pada Negara-negara maju, tingkat kematian bayi mencapai rekor yang rendah, dan anak yang bertahan hidup ditahun pertama kehidupan jauh lebih mungkin hidup hingga tua.
Orang tua jarang mempersiapkan secara emosional untuk kematian anak. Kematian itu, berapa pun usia terjadinya, dianggap sebagai sesuatu yang kejam, terguncang, peristiwa yang terjadi terlalu cepat, yang seharusnya belum terjadi. Kehilangan melemahkan dan pada akhirnya menghancurkan pernikahan. Orang tua, terutama ibu yang kehilangan anak beresiko tinggi dirawat di rumah sakit karena penyakit jiwa. Stress akibat kehilangan bahkan dapat menyebabkan kematian orang tua.
Banyak orang tua bimbang untuk membahas dengan anak yang menderita penyakit mematikan mengenai kematiannya, tetapi mereka yang melakukannya cenderung mencapai perasaan keterbukaan yang membantu mereka mengatasi kehilangan.
Meskipun setiap orang tua yang kehilangan harus mengatasi kedukaan dengan cara mereka sendiri, beberapa telah menemukan bahwa menceburkan diri ke dalam pekerjaan, minat, dan hubungan lainnya atau bergabung dengan kelompok dukungan dapat meringankan rasa sakit.
Berduka Karena Keguguran
Dinegara jepang terdapat ritual yang bernama mizuko kuyo, upacara meminta maaf dan mengenang, diamati sebagai cara untuk memperbaiki kesalahan pada mereka yang digugurkan.
Kata dalam bahasa jepang mizuko berarti “anak air”. Kaum Buddha jepang meyakini bahwa hidup mengalir ke organism secara bertahap, seperti air, dan sebuah mizuko berada di suatu tempat antara hidup dan mati. Sebaliknya, dalam bahasa inggris, tidak ada kata untuk janin yang keguguran atau digugurkan, atau berbagai upacara berduka. Keluarga, teman, dan professional kesehatan cenderung menghindar untuk membicarakan tentang kehilangan tersebut, karena mereka sering kali menganggap tidak penting dibandingkan dengan kehilangan anak yang hidup.
Dalam satu penelitian,  sebelas laki-laki yang anak mereka meninggal didalam kandungan dilaporkan mengatasi frustasi dan ketidakberdayaan selama dan sesudah kelahiran, tetapi beberapa merasa teringankan dalam mendukung pasangan mereka. Dalam penelitian lain, orang tua yang berduka mempersepsikan pasangan hidup dan keluarga besar mereka sebagai orang yang paling membantu dan dokter mereka sebagai yang paling tidak membantu. Berbagai perbedaan dalam cara laki-laki dan perempuan berduka mungkin menjadi sumber ketegangan dan perselisihan dalam hubungan pasangan. Pasangan yang telah mengalami kehilangan kandungan mungkin membutuhkan perawatan yang ekstrasensitif selama masa kehamilan berikutnya.



Bunuh diri
Pengertian bunuh diri
Suatu upaya yang disadari dan bertujuan untuk mengakhiri kehidupan, individu secara sadar dan berhasrat dan berupaya melaksanakan hasratnya untuk mati. Perilaku bunuh diri meliputi isyarat-isyarat, percobaan atau ancaman verbal, yang akan mengakibat kan kematian, luka atau menyakiti diri sendiri.
Meskipun bunuh diri tidak lagi dianggap tindak kejahatan, tetapi masih ada beberpa stigma yang menentangnya.Di banyak negara, tingkat bunuh diri meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan proporsinya lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan.
Sejauh ini tingkat bunuh diri tertinggi ada pada laki-laki kulit putih berusia 50 tahun ke atas,Meskipun beberapa orang yang berniat bunuh diri menyembunyikan rencana mereka secara hati-hati, 8 dari 10 orang yang bunuh diri memberikan tanda-tanda peringatan.Tanda-tanda tersebut berupa menarik diri dari keluarga,teman, membicarakan kematian, alam baka atau bunuh diri.
Bantuan dalam Kematian
Bunuh diri berbantuan adalah bunuh diri dimana dokter atau seseorang membantu orang lain untuk meninggal.
Eutanasia aktif (active euthanasia) atau disebut juga pembunuhan belas kasihan. Merupakan tindakan langsung atau sengaja yang dilakukan untuk memperpendek hidup dalam rangka mengakhiri penderitaan seseorang yang menderita penyakit mematikan.
Euthanasia pasif ( passive euthanasia) Merupakan penolakan atau penghentian perawatan yang memperpanjang hidup pasien yang menderita penyakit mematikan dalam rangka mengakhiri penderitaannya atau membuatnya meninggal dengan hormat.
Arahan Lanjut- wasiat hidup : dokumen yang memerinci bentuk perawatan yang diinginkan oleh pembuatnya jika dalam keadaan ketidakmampuan atau penyakit mematikan. Beberapa wasiat hidup berlaku hanya pada para pasien dengan penyakit yang mematikan, bukan kepada mereka yang lumpuh karena penyakit atau cedera tetapi bisa hidup bertahun-tahun dengan rasa sakit yang parah.
Berbagai situasi tersebut dapat di cakup oleh surat kuasa untuk waktu yg tidak di tentukan atau sebagai alat hukum yang menunjuk seorang individu untuk membuat keputusan jika orang lain berada dalam keadaan tidak mampu mengambil keputusan.
Bunuh Diri berbantuan: Pro dan Kontra di AS
Para dokter diizinkan untuk memberi obat-obatan yang bisa memperpendek hidup jika tujuannya adalah meringankan rasa sakit (Gostin,1997) tetapi beberapa dokter menolak karena alasan etika pribadi atau kedokteran.
Berbagai perdebatan etika mengenai bunuh diri berbantuan didasarkan pada prinsip otonomi dan menentukan nasib sendiri; bahwa orang yang mampu secara mental seharusnya memiliki hak untuk mengendalikan kulitas hidup mereka sendiri serta waktu dan hakikat kematian mereka.

Melegalkan Bantuan Dokter Dalam Kematian
Pada bulan September tahun 1996, pertama kalinya terdapat kasus dimana seorang pria Australia berusia 66 tahun yang menderita kanker prostat stadium lanjut meninggal dunia dengan cara bunuh diri berbantuan. Yang dimaksud dengan bunuh diri berbantuan adalah dimana terdapat pasien yang menderita penyakit mematikan dan sudah tidak tahan akan penderitaannya dilegalkan oleh undang-undang untuk meminta bantuan dokter dalam mempercepat kematiannya.
Setahun kemudian Australia mencabut undang-undang tersebut sementara Oregon, salah satu negara bagian Amerika Serikat, satu-satunya yang justru mengesahkan adanya peraturan mengenai hal tersebut yang kemudian dinamakan Death With Dignity Act (Undang-Undang Kematian dengan Hormat). Walaupun kejaksaan disana sudah berupaya menuntut dokter yang membantu pasien mengakhiri hidupnya, namun pengadilan Oregon tetap menolaknya.
Berikutnya, bunuh diri berbantuan atau eutanasia mulai dilegalkan di Belanda yang kemudian diikuti pula oleh Belgia. Meskipun begitu, menurut pengamatan, para dokter di Belanda terlihat membantu pasien dalam kematiannya dengan segan dan di bawah situasi yang memaksa. Hal tersebut menuai banyak kritik dari warga negara lain bahwa eutanasia tidak dikehendaki.
Keputusan Mengakhiri Hidup dan Sikap Budaya
Penelitian representatif pertama mengenai keputusan mengakhiri hidup pada enam negara Eropa menemukan faktor perbedaan budaya yang penating. Ternyata berdasarkan kuisioner terbukti bahwa para dokter dilaporkan menolak perawatan untuk memperpanjang hidup pasien. Terutama di negara Belanda, Belgia dan Swiss, keputusan untuk mengakhiri hidup lebih sering dibahas dengan pasien.
Tidak berbeda dengan pasien bayi yang baru lahir. Praktik medis sekarang menerima pembatalan memperpanjang hidup bagi bayi baru lahir dengan peluang hidup yang sedikit atau bayi yang lahir dengan keabnormalan otak yang parah atau kerusakan organ yang meluas.
Eutanasia aktif pada bayi yang diperkirakan tidak dapat bertahan hidup dengan rasa sakit atau penderitaan yang tak tertahankan, tetap dilegalkan di Belanda sebagaimana di tempat lain. Dan hal tersebut selalu disahkan oleh hukum. Kenyataan ini menunjukkan bahwa budaya sebagian besar orang-orang Eropa dianggap tidak manusiawi dengan memberlakukan adanya ‘pembunuhan’ yang legal. Tentunya ini sangat berbanding terbalik dengan budaya kita di Indonesia yang hukumnya jelas-jelas melarang adanya eutanasia yaitu melanggar hak asasi manusia yang berlaku.
Pilihan Mengakhiri Hidup dan Berbagai Ragam Kepedulian
Banyaknya kontroversi dari berbagai pihak mengenai bantuan dalam kematian tersebut telah menuntut perhatian pihak kedokteran untuk perawatan pasien yang lebih baik dan perhatian terhadap motivasi yang dapat membantu menguatkan mental pasien. Misalnya, ketika dokter sedang berbicara secara terbuka dengan pasiennya, dimana dijelaskan dengan rinci bagaimana keadaan pasiennya tersebut, maka dokter seharusnya dapat melakukan suatu cara yang membantu pasien mengurangi kekhawatiran itu tanpa harus mengakhiri hidupnya.
                Di negara yang masyarakatnya terdiri dari beragam etnis, masalah yang dihadapi pasien dalam pengambilan keputusan mengakhiri hidup, tidak boleh mengabaikan aturan sosial dan keragaman budaya disana. Sebagai contoh, kaum Afrika-Amerika lebih memilih perawatan untuk mempertahankan hidup dengan mengabaikan keadaan penyakitnya, dibandingkan kaum Eropa-Amerika.
Menemukan Makna Serta Tujuan Hidup Dan Mati
Menurut Kubler-Ross (1975) mengatakan bahwa menghadapi kenyataan akan kematian merupakan kunci hidup dengan penuh makna :
“ Pengingkaran akan kematianlah yang sebagian bertanggung jawab atas kehidupan kosong (orang-orang), hidup tanpa tujuan; bagi mereka yang ketika hidup, hidup seperti layaknya akan hidup selamanya, menjadi terlalu mudah untuk menunda hal-hal yang mereka tahu harus mereka kerjakan. Sebaliknya, ketika mereka benar-benar memahami bahwa setiap hari mereka terbangun dengan kesadaran bahwa ini adalah hari terakhir mereka untuk hidup, mereka akan memanfaatkan sisa waktu untuk tumbuh lebih menjadi diri sendiri, untuk mendekati manusia lain.”
Bahkan berdasarkan penelitian, orang-orang yang memandang kehidupan itu mempunyai tujuan akhir, setidaknya akan merasakan sedikit rasa ketakutan akan kematian.
Mengkaji Ulang Kehidupan
Kajian ulang kehidupan atau Life Review adalah sebuah proses kenangan seseorang di masa lalunya yang memungkinkan dirinya melihat kebermaknaan hidupnya sampai saat ini.
Terkadang kajian ulang kehidupan lebih mempunyai makna khusus bagi orang-orang lansia. Dikarenakan ia dapat mengembangkan integritas egonya sebagai tugas akhir dari rentang kehidupan, menurut teori Erikson. Kesadaran akan kematian akan memotivasi seseorang untuk mengkaji ulang nilai dan pengalaman hidupnya, dan menemukan semangat kembali untuk memperbaiki apa yang salah dan menyelesaikan apa yang belum terlaksana. Karenanya, manfaat paling utama dari kajian ulang kehidupan adalah untuk membantu membuat seseorang lebih sadar akan hidup, memiliki tujuan, dan efisien.
Perkembangan : Proses Seumur Hidup
Detik-detik seseorang menjelang kematiannya atau biasa disebut sekarat, dapat menjadi sebuah pengalaman dalam perkembangan seseorang. Mengapa? Dalam rentang kehidupan yang terbatas, tidak ada seorang pun yang benar-benar menyadari seluruh kemampuannya, atau memuaskan semua hasratnya, atau melakukan semua hal yang diminatinya, bahkan tidak benar-benar mendapatkan seluruh kekayaan dalam hidupnya.
Manusia selalu dihadapkan pada kesulitan menentukan pilihan hidupnya yang sangat banyak sementara ia tahu bahwa waktu hidupnya adalah terbatas. Dengan memilih sesuatu yang menjadi tujuannya, kemudian melanjutkannya sampai akhir, maka setiap manusia telah membuat kisah yang tidak terselesaikan dari perkembangan manusia.
                                                                                                                 

DAFTAR PUSTAKA
Sandtrock, JW.2007.Perkembangan Remaja.Jakarta: Salemba Humanika
Papalia, Olds. Felman.2009. HUMAN DEVELOPMENT Perkembangan Manusia.Jakarta: Salemba Humanika
http://kajianpsikologi.blogspot.com/p/regulasi-praktek-euthanasia.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar