PROVINSI ACEH
Aceh
— Provinsi —
Motto: "Pancacita"
(dari bahasa Sansekerta yang artinya "Lima cita-cita")
Negara
Indonesia
Hari jadi 7 Desember 1959 (hari jadi)
Dasar hukum UU RI No. 24/1956
UU RI No. 44/1999
UU RI No. 18/2001
UU RI No. 11/2006 (Pemerintahan Aceh)
Ibu kota Banda Aceh (dahulu Koetaradja)
Koordinat
1º 40' - 6º 30' LU
94º 40' - 98º 30' BT
Pemerintahan
- Gubernur
drh. Irwandi Yusuf, M.Sc..
Luas
- Total 55.390 km2
Populasi (2010)
- Total 4.486.570
- Kepadatan
81/km²
Demografi
- Suku bangsa
Aceh, Gayo, Aneuk Jamee, Singkil, Alas, Tamiang, Kluet, Devayan, Sigulai,Pakpak, Haloban, Lekon dan Nias.
- Agama
Islam (99,85%), Kristen (0,15%)
- Bahasa
Aceh, Gayo, Aneuk Jamee, Singkil, Alas, Tamiang, Kluet, Devayan, Sigulai,Pakpak, Haloban, Lekon, Nias dan Indonesia.
Zona waktu
WIB
Kabupaten
18
Kota
5
Kecamatan
227
Desa/kelurahan
5.862
Lagu daerah
Bungong Jeumpa
Situs web http://www.acehprov.go.id/
Aceh yang sebelumnya pernah disebut dengan nama Daerah Istimewa Aceh (1959-2001) dan Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009) adalah provinsi paling barat di Indonesia. Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri, berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, karena alasan sejarah. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan.
Ibu kota Aceh ialah Banda Aceh. Pelabuhannya adalah Malahayati-Krueng Raya, Ulee Lheue, Sabang, Lhokseumawe dan Langsa. Aceh merupakan kawasan yang paling buruk dilanda gempa dan tsunami 26 Desember 2004. Beberapa tempat di pesisir pantai musnah sama sekali. Yang terberat adalah Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Singkil dan Simeulue.
Aceh mempunyai kekayaan sumber alam seperti minyak bumi dan gas alam. Sumber alam itu terletak di Aceh Utara dan Aceh Timur. Aceh juga terkenal dengan sumber hutannya, yang terletak di sepanjang jajaran Bukit Barisan, dari Kutacane, Aceh Tenggara, Seulawah, Aceh Besar, sampai Ulu Masen di Aceh Jaya. Sebuah taman nasional, yaitu Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) juga terdapat di Aceh Tenggara
Sejarah Aceh
Aceh (bahasa Belanda: Atchin atau Acheh, bahasa Inggris: Achin, bahasa Perancis: Achen atau Acheh, bahasa Arab: Asyi, bahasa Portugis: Achen atau Achem, bahasa Tionghoa: A-tsi atau Ache) yang sekarang dikenal sebagai provinsi Aceh memiliki akar budaya bahasa dari keluarga bahasa Monk Khmer proto bahasa Melayu dengan pembagian daerah bahasa lain seperti bagian selatan menggunakan bahasa Aneuk Jame sedangkan bagian Tengah, Tenggara, dan Timur menggunakan bahasa Gayo untuk bagian tenggara menggunakan bahasa Alas seterusnya bagian timur lebih ke timur lagi menggunakan bahasa Tamiang demikian dengan kelompok etnis Klut yang berada bagian selatan menggunakan bahasa Klut sedangkan di Simeulue menggunakan bahasa Simeulue akan tetapi masing-masing bahasa setempat tersebut dapat dibagi pula menjadi dialek. Bahasa Aceh, misalnya, adalah berbicara dengan sedikit perbedaan di Aceh Besar, di Pidie, dan di Aceh Utara. Demikian pula, dalam bahasa Gayo ada Gayo Lut, Gayo Deret, dan dialek Gayo Lues dan kelompok etnis lainnya Singkil yang berada bagian tenggara (Tanoh Alas) menggunakan bahasa Singkil. sumber sejarah lainnya dapat diperoleh antara lain seperti dari hikayat Aceh, hikayat rajah Aceh dan hikayat prang sabii yang berasal dari sejarah narasi yang kemudian umumnya ditulis dalam naskah-naskah aksara Jawi (Jawoe). Namun sebagaimana kelemahan dari sejarah narasi yang berdasarkan pinutur ternyata menurut Prof. Ibrahim Alfian bahwa naskah Hikayat Perang Sabil mempunyai banyak versi dan satu dengan yang lain terdapat perbedaan demikian pula dengan naskah Hikayat Perang Sabil versi tahun 1710 yang berada di perpustakaan Universitas Leiden di negeri Belanda.
Bahasa Mon-Khmer:
Bahasa Brao, Bahasa Kreung, Bahasa Tampuan, Bahasa Bunong dan Bahasa Kui.
Awal Aceh dalam sumber antropologi disebutkan bahwa asal-usul Aceh berasal dari suku Mantir (atau dalam bahasa Aceh: Mantee) yang mempunyai keterkaitan dengan Mantera di Malaka yang merupakan bagian dari bangsa Mon Khmer (Monk Khmer).] Menurut sumber sejarah narasi lainnya disebutkan bahwa terutama penduduk Aceh Besar tempat kediamannya di kampung Seumileuk yang juga disebut kampung Rumoh Dua Blaih (desa Rumoh 12), letaknya di atas Seulimeum antara kampung Jantho dengan Tangse. Seumileuk artinya dataran yang luas dan Mantir kemudian menyebar ke seluruh lembah Aceh tiga segi dan kemudian berpindah-pindah ke tempat-tempat lain.
Kependudukan
Suku Aceh
Suku Aceh adalah nama sebuah suku yang mendiami ujung utara Sumatra. Mereka beragama Islam. Bahasa yang dipertuturkan oleh mereka adalah bahasa Aceh yang masih berkerabat dengan bahasa Mon Khmer (wilayah Champa). Bahasa Aceh merupakan bagian dari bahasa Melayu-Polynesia barat, cabang dari keluarga bahasa Austronesia.
Suku Aceh memiliki sejarah panjang tentang kegemilangan sebuah kerajaan Islam hingga perjuangan atas penaklukan kolonial Hindia Belanda.
Banyak dari budaya Aceh yang menyerap budaya Hindu India, dimana kosakata bahasa Aceh banyak yang berbahasa Sanskerta. Suku Aceh merupakan suku di Indonesia yang pertama memeluk agama Islam dan mendirikan kerajaan Islam. Masyarakat Aceh mayoritas bekerja sebagai petani, pekerja tambang, dan nelayan.
Suku Gayo
Suku Gayo adalah sebuah suku bangsa yang mendiami dataran tinggi Gayo di Aceh.
Suku Gayo secara mayoritas terdapat di kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan 3 kecamatan di Aceh Timur, yaitu kecamatan Serbe Jadi, Peunaron dan Simpang Jernih.
Selain itu suku Gayo juga mendiami beberapa desa di kabupaten Aceh Tamiang dan Aceh Tenggara.
Suku Gayo beragama Islam dan mereka dikenal taat dalam agamanya. Suku Gayo menggunakan bahasa yang disebut bahasa Gayo.
Persebaran
Suku Gayo secara mayoritas terdapat di kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan 3 kecamatan di Aceh Timur, yaitu kecamatan Serbe Jadi, Peunaron dan Simpang Jernih.
Selain itu suku Gayo juga mendiami beberapa desa di kabupaten Aceh Tamiang dan Aceh Tenggara.
Bahasa
Bahasa Gayo digunakan dalam percakapaan sehari-hari. Penggunaan bahasa Gayo dibedakan atas beberapa dialek, seperti dialek Gayo Lut yang terbagi lagi menjadi sub-dialek Lut dan Deret di Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah, dialek Blang Di Kabupaten Gayo Lues, Kalul di Kabupaten Aceh Tamiang, dan Lokop di Serbe Jadi Kabupaten Aceh Timur.
Mata pencaharian
Mata pencaharian utama adalah bertani dan berkebun dengan hasil utamanya kopi. Mereka juga mengembangkan kerajinan membuat keramik, menganyam, dan menenun. Kerajinan lain yang cukup mendapat perhatian adalah kerajinan membuat sulaman kerawang Gayo, dengan motif yang khas.
Sejarah
Kerajaan Lingga atau Linge (dalam bahasa gayo) di tanah Gayo, menurut M. Junus Djamil dalam bukunya "Gajah Putih" yang diterbitkan oleh Lembaga Kebudayaan Atjeh pada tahun 1959, Kutaraja, mengatakan bahwa sekitar pada abad ke-11 (Penahunan ini mungkin sangat relatif karena kerajaan Lamuri telah eksis sebelum abad ini, penahunan yang lebih tepat adalah antara abad ke 2-9 M), Kerajaan Lingga didirikan oleh orang-orang Gayo pada era pemerintahan Sultan Machudum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kerajaan Perlak. Informasi ini diketahui dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesan dan dari Zainuddin yaitu dari raja-raja Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di era kolonial Belanda.
Raja Lingga I, disebutkan mempunyai 4 orang anak. Yang tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga (Ali Syah), Meurah Johan (Djohan Syah) dan Meurah Lingga(Malamsyah).
Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Karo dan membuka negeri di sana dia dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lamkrak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamoeri dan Lamuri atau Kesultanan Lamuri atau Lambri. Ini berarti kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi raja Linge turun termurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai. Kesultanan Daya merupakan kesultanan syiah yang dipimpin orang-orang Persia dan Arab.
Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wihni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge, Aceh Tengah. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk.
Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa Raja Lingga lebih menyayangi bungsunya Meurah Mege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk mengembara.
Dinasti Lingga
1. Adi Genali Raja Lingga I di Gayo
• Raja Sebayak Lingga di Tanah Karo. Menjadi Raja Karo
• Raja Meurah Johan(pendiri Kesultanan Lamuri)
• Meurah Silu anak dari Meurah Sinabung (pendiri Kesultanan Samudera Pasai), dan
2. Raja Lingga II alias Marah Lingga di Gayo 3. Raja Lingga III-XII di Gayo 4. Raja Lingga XIII menjadi Amir al-Harb Kesultanan Aceh, pada tahun 1533 terbentuklah Kerajaan Johor baru di Malaysia yang dipimpin oleh Sultan Alauddin Mansyur Syah. Raja Lingga XIII diangkat menjadi kabinet di kerajaan baru tersebut. Keturunannya mendirikan Kesultanan Lingga di kepulauan Riau, pulau Lingga, yang kedaulatannya mencakup Riau (Indonesia), Temasek (Singapura) dan sedikit wilayah Malaysia.
Raja-raja di Sebayak Lingga Karo tidak terdokumentasi. Pada era Belanda kembali diangkat raja-rajanya tapi hanya dua era 1. Raja Sendi Sibayak Lingga. (Pilihan Belanda) 2. Raja Kalilong Sibayak Lingga
Sistem pemerintahan
Rumah Adat Gayo Pitu Ruang
Masyarakat Gayo hidup dalam komuniti kecil yang disebut kampong. Setiap kampong dikepalai oleh seorang gecik. Kumpulan beberapa kampung disebut kemukiman, yang dipimpin oleh mukim. Sistem pemerintahan tradisional berupa unsur kepemimpinan yang disebut sarak opat, terdiri dari:
• Reje
• Petue
• Imem
• Rayat
Pada masa sekarang beberapa buah kemukiman merupakan bagian dari kecamatan, dengan unsur-unsur kepemimpinan terdiri atas: gecik, wakil gecik, imem, dan cerdik pandai yang mewakili rakyat.
Sebuah kampong biasanya dihuni oleh beberapa kelompok klen (belah). Anggota-anggota suatu belah merasa berasal dari satu nenek moyang, masih saling mengenal, dan mengembangkan hubungan tetap dalam berbagai upacara adat. Garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip patrilineal. Sistem perkawinan yang berlaku berdasarkan tradisi adalah eksogami belah, dengan adat menetap sesudah nikah yang patrilokal (juelen) atau matrilokal (angkap).
Kelompok kekerabatan terkecil disebut saraine (keluarga inti). Kesatuan beberapa keluarga inti disebut sara dapur. Pada masa lalu beberapa sara dapur tinggal bersama dalam sebuah rumah panjang, sehingga disebut sara umah. Beberapa buah rumah panjang bergabung ke dalam satu belah (klen). Pada masa sekarang banyak keluarga inti yang mendiami rumah sendiri. Pada masa lalu orang Gayo terutama mengembangkan matapencaharian bertani di sawah dan beternak, dengan adat istiadat matapencaharian yang rumit. Selain itu ada penduduk yang berkebun, menangkap ikan, dan meramu hasil hutan. Mereka juga mengembangkan kerajinan membuat keramik, menganyam, dan menenun. Kini matapencaharian yang dominan adalah berkebun, terutama tanaman kopi. Kerajinan membuat keramik dan anyaman pernah terancam punah, namun dengan dijadikannya daerah ini sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Aceh, kerajinan keramik mulai dikembangkan lagi. Kerajinan lain yang juga banyak mendapat perhatian adalah kerajinan membuat sulaman kerawang dengan motif yang khas.
Seni Budaya
Suatu unsur budaya yang tidak pernah lesu di kalangan masyarakat Gayo adalah kesenian, yang hampir tidak pernah mengalami kemandekan bahkan cenderung berkembang. Bentuk kesenian Gayo yang terkenal, antara lain tari saman dan seni bertutur yang disebut didong. Selain untuk hiburan dan rekreasi, bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai fungsi ritual, pendidikan, penerangan, sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan keseimbangan dan struktur sosial masyarakat. Di samping itu ada pula bentuk kesenian Seperti: Tari bines, Tari Guel, Tari munalu,sebuku(pepongoten),guru didong, dan melengkan (seni berpidato berdasarkan adat), yang juga tidak terlupakan dari masa ke masa, Karena Orang Gayo kaya akan seni budaya.
Kubur tradisional orang Gayo
Dalam seluruh segi kehidupan, orang Gayo memiliki dan membudayakan sejumlah nilai budaya sebagai acuan tingkah laku untuk mencapai ketertiban, disiplin, kesetiakawanan, gotong royong, dan rajin (mutentu). Pengalaman nilai budaya ini dipacu oleh suatu nilai yang disebut bersikemelen, yaitu persaingan yang mewujudkan suatu nilai dasar mengenai harga diri (mukemel). Nilai-nilai ini diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti dalam bidang ekonomi, kesenian, kekerabatan, dan pendidikan. Sumber dari nilai-nilai tersebut adalah agama Islam serta adat setempat yang dianut oleh seluruh masyarakat Gayo.
Seni dan Tarian
• Didong
• Didong Niet
• Tari Saman
• Tari Bines
• Tari Guel
• Tari Munalu
• Tari Sining
• Tari Turun Ku Aih Aunen
• Tari Resam Berume
• Tuak Kukur
• Melengkan
• Dabus
Makanan Khas
• Masam Jaeng
• Gutel
• Lepat
• Pulut Bekuah
• Cecah
• Pengat
Bahasa Aceh
Bahasa Aceh adalah bagian dari rumpun bahasa Austronesia. Bahasa ini dituturkan di Aceh, dominan di sebagian besar wilayah pesisir ujung utara Sumatera. Bahasa Aceh memiliki hubungan erat dengan kelompok bahasa Cam di Kamboja dan Vietnam.
Literatur
Sampai saat ini manuskrip berbahasa Aceh tertua yang dapat ditemukan berasal dari tahun 1069 H (1658/1659 M) yaitu Hikayat Seuma'un.
Sebelum penjajahan Belanda (1873 - 1942), hampir semua literatur berbahasa Aceh berbentuk puisi yang dikenal dengan hikayat. Sedikit sekali yang berbentuk prosa dan salah satunya adalah Kitab Bakeu Meunan yang merupakan terjemahan kitab Qawaa'id al-Islaam.
Setelah kedatangan Belanda barulah muncul karya tulis berbahasa Aceh dalam bentuk prosa yaitu pada tahun 1930-an, seperti Lhee Saboh Nang yang ditulis oleh Aboe Bakar dan De Vries. Setelah itu barulah bermunculan berbagai karya tulis berbentuk prosa namun demikian masih tetap didominasi oleh karya tulis berbentuk hikayat.
Fonologi
Hikayat Prang Sabi
Hikayat Akhbarul Karim
Hikayat Banta Beuransah
Berikut adalah fonem-fonem bahasa Aceh.
Vokal[5]
Depan
Tengah
Belakang
mulut sengau
mulut sengau
mulut sengau
Tertutup
i ĩ ɨ ɨ̃ u ũ
Tengah tertutup
e ɛ̃ ə ʌ̃ o ɔ̃
Tengah terbuka
ɛ ʌ ɔ
Terbuka
a ã
Vokal biasanya berada di pasangan mulut/sengau, meskipun hanya ada tiga vokal sengau pertengahan dan ada vokal oral pertengahan yang jumlahnya dua kali lebih banyak. /ʌ/ tidak benar-benar di tengah, meskipun ditampilkan di sini karena alasan estetika. Demikian pula, /ɨ/ juga ditampilkan sebagai ([ɯ] yang lebih ke belakang.] Selain vokal monoftong di atas, bahasa Aceh juga memiliki 5 diftong oral, masing-masing dengan pasangan sengau:
• /iə ɨə uə ɛə ɔə/
• /ĩə ɨ̃ə ũə ɛ̃ə ɔ̃ə/
Konsonan
Bibir
Rongga-gigi
Langit-langit
Langit-langit
belakang
Glotis
Sengau
m n ɲ ŋ
Letup
p b t d c ɟ k g ʔ
Desis
s ʃ h
Hampiran
w l j
Getar
r
/s/ adalah alveodental laminal. /ʃ/ secara teknis berupa post-alveolar tapi dikelompokkan dalam kolom langit-langit untuk alasan estetika.
Ejaan
Kamus bahasa Aceh-Indonesia.
Bahasa Aceh telah mengalami berulang kali perubahan ejaan, mulai penggunaan huruf Arab, huruf Latin ejaan lama, dan sekarang adalah Ejaan Yang Disempurnakan. Berikut adalah pedoman ejaannya:
• Ee ([ə]* dibaca seperti huruf /e/ dalam kata "dekat"; contohnya: le (banyak).
• Èè ([ɛ]* ) dibaca seperti huruf /e/ dalam kata "bebek"; contohnya: pèng (uang), pèh (pukul/tumbuk), dll.
• Éé ([e]* ) dibaca seperti huruf /e/ dalam kata "kue"; contohnya: lé (oleh).
• Ëë, tidak ditemui padanannya dalam bahasa Indonesia.
• Öö ([ʌ]* ) dibaca seperti huruf vokal dasar /ɔ/, tetapi diucapkan dengan mulut terbuka; contohnya mantöng (masih), böh (buang),
• Ôô ([o]* ) dibaca seperti huruf /o/ dalam kata "soto", "foto", "tato"; contohnya: bôh (taruh), sôh (tinju), tôh (mengeluarkan).
• Oo ([ɔ]* ) dibaca seperti huruf /o/ dalam kata "tolong", "bom"; contohnya: boh (buah), soh (kosong), toh (mana)
Huruf vokal sengau:
• 'A 'a pengucapannya sengau seperti /a/ dalam kata “maaf”; contohnya: 'ap (suap), meu'ah (maaf)
• 'I 'i pengucapannya sengau seperti /i/ dalam kata “angin”; contohnya: ca’ië (laba-laba), kh’iëng (busuk), dll
• 'U 'u pengucapannya sengau; contohnya: meu'uë (bajak),
• 'È 'è pengucapannya sengau seperti /e/ dalam kata “pamer”; contohnya: pa‘è (tokek), meu‘èn (main)
• 'O 'o pengucapannya sengau; contohnya: ma’op (hantu/untuk menakuti anak-anak)
Contoh
Terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa Aceh.
• Peue haba? = Apa kabar?
• Haba gèt = Kabar baik.
• Lôn piké geutanyoë han meureumpök lé = Saya kira kita takkan bersua lagi.
• Lôn jép ië u muda = Saya minum air kelapa muda.
• Agam ngön inöng = pria dan wanita
• Lôn = saya
• Kah, droë = kamu, anda
• H'an = tidak
• Na = ada
• Pajôh = makan
• Jih, dijih, gobnyan = dia, beliau
• Ceudah that gobnyan. = Tampan sekali dia.
• Lôn meu'en bhan bak blang thô. = Saya bermain bola di sawah kering.
Agama
Sebagian besar penduduk di Aceh menganut agama Islam. Dari ke 13 suku asli yang ada di Aceh hanya suku Nias yang tidak semuanya memeluk agama Islam.
Agama lain yang dianut oleh penduduk di Aceh adalah agama Kristen yang dianut oleh pendatang suku Batak dan sebagian warga Tionghoa yang kebanyakan bersuku Hakka. Sedangkan sebagian lainnya tetap menganut agama Konghucu.
Selain itu provinsi Aceh memiliki keistimewaan dibandingkan dengan provinsi yang lain, karena di provinsi ini Syariat Islam diberlakukan kepada sebagian besar warganya yang menganut agama Islam.
Pendidikan
Dalam hal pendidikan, sebenarnya provinsi ini mendapatkan status Istimewa selain dari D.I. Yogyakarta. Namun perkembangan yang ada tidak menunjukkan kesesuaian antara status yang diberikan dengan kenyataannya. Pendidikan di Aceh dapat dikatakan terpuruk. Salah satu yang menyebabkannya adalah konflik yang berkepanjangan dan penganaktirian dari RI, dengan sekian ribu sekolah dan institusi pendidikan lainnya menjadi korban. Pada UAN (Ujian Akhir Nasional) 2005 ada ribuan siswa yang tidak lulus dan terpaksa mengikuti ujian ulang.
Aceh juga memiliki sejumlah Perguruan Tinggi Negeri seperti
• Universitas Syiah Kuala
• IAIN Ar-Raniry
• Universitas Malikussaleh
• Politeknik Negeri Lhokseumawe
Perekonomian
Pra-tsunami 2004
Sebelum bencana tsunami 26 Desember 2004, perikanan merupakan salah satu pilar ekonomi lokal di Aceh, menyumbangkan 6,5 persen dari Pendapatan Daerah Bruto (PDB) senilai 1,59 triliun pada tahun 2004 (Dinas Perikanan dan Kelautan Aceh 2005). Potensi produksi perikanan tangkap mencapai 120.209 ton/tahun sementara perikanan budidaya mencapai 15.454 ton/tahun pada tahun 2003 (Dinas Perikanan dan Kelautan Aceh 2004). Produksi perikanan tersebut merata, baik di Samudera Hindia maupun Selat Malaka.
Industri perikanan menyediakan lebih dari 100.000 lapangan kerja, 87 persen (87.783) di sub sektor perikanan tangkap dan sisanya (14.461) di sub sektor perikanan budidaya. Sekitar 53.100 orang menjadikan perikanan sebagai mata pencaharian utama. Namun demikian, 60 persen adalah nelayan kecil menggunakan perahu berukuran kecil. Dari sekitar 18.800 unit perahu/kapal ikan di Aceh, hanya 7.700 unit yang mampu melaut ke lepas pantai. Armada perikanan tangkap berskala besar kebanyakan beroperasi di Aceh Utara, Aceh Timur, Bireuen, Aceh Barat dan Aceh Selatan.
Menurut Nurasa et al. (1993), nelayan Aceh sebagian besar menggunakan alat tangkap pancing (hook and line). Alat tangkap lain adalah pukat, jaring cincin (purse seine), pukat darat, jaring insang, jaring payang, jaring dasar, jala dan lain-lain.
Infrastruktur penunjang industri ini meliputi satu pelabuhan perikanan besar di Banda Aceh, 10 pelabuhan pelelangan ikan (PPI) utama di 7 kabupaten/kota dan sejumlah tempat pelelangan ikan (TPI) kecil di 18 kabupaten/kota. Selain itu terdapat 36.600 hektar tambak, sebagian besar tambak semi intensif yang dimiliki petambak bermodal kecil. Tambak-tambak ini tersebar di Aceh Utara, Pidie, Bireuen dan Aceh Timur.
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Indonesia mengelola sebuah pusat pendidikan dan latihan (Pusdiklat) budidaya, sebuah pusat penelitian dan pengembangan (Puslitbang) budidaya, sebuah laboratorium uji mutu perikanan dan sebuah kapal latih. Di tiap kabupaten/kota, terdapat dinas perikanan dan kelautan. Total aset di sektor perikanan pra-tsunami mencapai sekitar Rp 1,9 triliun.
Pasca-tsunami 2004
Kerusakan akibat tsunami di Banda Aceh
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas (2005) memperkirakan 9563 unit perahu hancur atau tenggelam, termasuk 3969 (41,5%) perahu tanpa motor, 2369 (24,8%) perahu bermotor dan 3225 (33,7%) kapal motor besar (5-50 ton). Selain itu, 38 unit TPI rusak berat dan 14.523 hektar tambak di 11 kabupaten/kota rusak berat. Diperkirakan total kerugian langsung akibat bencana tsunami mencapai Rp 944.492,00 (50% dari nilai total aset), sedangkan total nilai kerugian tak langsung mencapai Rp 3,8 milyar. Sebagian besar kerugian berasal dari kerusakan tambak.
Kerusakan tambak budidaya tersebar merata. Bahkan di daerah yang tidak terlalu parah dampak tsunaminya (misalnya di Aceh Selatan), tambak-tambak yang tergenang tidaklah mudah diperbaiki dan digunakan kembali. Total kerugian mencapai Rp 466 milyar, sekitar 50 persen dari total kerugian sektor perikanan. Kerugian ekonomi paling besar berasal dari hilangnya pendapatan dari sektor perikanan (tangkap dan budidaya). Hilangnya sejumlah besar nelayan, hilang atau rusaknya sarana dan prasarana perikanan termasuk alat tangkap dan perahu serta kerusakan tambak menjadikan angka kerugian sedemikian besarnya.
Kapal PLTD Apung yang dibawa oleh tsunami sampai ke darat
Diperkirakan produksi perikanan di Aceh akan anjlok hingga 60 persen. Proses pemulihan diperkirakan membutuhkan waktu paling sedikit 5 tahun. Di subsektor perikanan tangkap, bahkan diduga perlu waktu lebih lama (sekitar 10 tahun), karena banyaknya nelayan yang hilang atau meninggal selain rusaknya sejumlah besar perahu atau alat tangkap. Berdasarkan asumsi tersebut, total kerugian yang mungkin terjadi hingga sektor ini pulih total dan kembali ke kondisi pra-tsunami diperkirakan mencapai Rp 3,8 triliun.
Pariwisata
• Masjid Raya Baiturrahman
• Graveyard in Bitay Village
• Cut Nya Dien House
• Indonesian Airline Monument. Seulawah-Indonesian First Airplane
• Tsunami Monument & Garden
• The Museum Aceh
• Taman Putroe Phang
• Kuburan Kerkhoff
• Danau Laut Tawar
• Danau Aneuk Laot
• Iboih
KEBUDAYAAN,ADAT ISTIADAT,DAN HUKUM MASYARAKAT ACEH.
POLA KEHIDUPAN MASYARAKAT ACEH
Pola kehidupan masyarakat Aceh sejak zaman dahulu sudah diatur berdasarkan kaedah-kaedah hukum agama Islam. Pola kehidupan masyarakat Aceh di zaman dahulu dibagi dalam beberapa tingkat atau strata. Meskipun terbagi dalam strata-strata tidak berarti ada pemilahan pandangan hidup di antara strata tersebut. Rakyat Aceh menyebut strata itu dengan golongan. Adapaun golongan yang dimaksud adalah, golongan rakyat biasa, hartawan, ulama/ cendikiawan, dan kaum bangsawan.
Golongan Rakyat Biasa
Golongan ini dalam masyarakat Aceh disebut dengan ureung lé (orang banyak). Dikatakan demikian karena golongan ini merupakan golongan paling banyak dalam masyarakat adat Aceh.
Golongan Hartawan
Golongan ini merupakan golongan yang senang bekerja keras untuk meningkatkan pengembangan ekonomi pribadi. Dari pribadi-pribadi yang sudah memiliki harta itu dibentuklah suatu golongan yang disebut dengan golongan hartawan. Golongan ini cukup berperan dalam soal-soal kemasyarakat, terutama dalam hal menyumbang.
Golongan Ulama atau Cendikiawan
Golongan ini umumnya berasal dari rakyat biasa, tetapi mereka memiliki ilmu pengetahuan yang cukup menonjol. Dalam masyarakat Aceh golongan ini disebut juga sebagai orang alim. Orang-orang di golongan ini dalam kehidupan masyarakat Aceh dipanggil dengan gelar Teungku. Akan tetapi sapaan Teungku zaman sekarang ini sudah melebar menjadi sapaan hormat ke semua lelaki dewasa. Golongan ulama ini sangat berperan dalam masalah-masalah agama dan kemasyarakatan.
Golongan Bangsawan
Golongan bangsawan adalah golongan kerajaan. Zaman sekarang golongan bangsawan dapat dilihat dari garis keturunan Sultan Aceh. Dalam golongan ini dari garis keturunan perempuan disebut Cut dan garis keturunan lelaki disebut Teuku. Panggilan untuk teuku ini sering disebut dengan ampon.
Selain pembagian golongan di atas, sistem kemasyarakatan rakyat Aceh merupakan perwujudan dari beberapa keluarga inti. Keluarga inti yang dimaksud adalah kelompok masyarakat yang mendiami sebuah daerah yang disebut gampoeng. Sistem sosial masyarakat Aceh berpedoman pada keluarga inti tersebut. Dalam setiap keluarga inti atau gampoeng sudah tersusun lembaga-lembaga adat yang mengacu kepada mukim. Lembaga-lembaga adat itu sangat berperan penting dalam mengatur segala hal dalam kehidupan sosial kemasyarakatan di gampoeng/ mukim tersebut.
Dalam kehidupan masyarakat Aceh ada yang namanya hukum adat, yaitu hukum yang bersendi kepada syariat Islam. Penerapan hukum adat dalam kehidupan masyarakat Aceh tidak terlepas dari sendi-sendi agama Islam. Oleh karena itu adat dan hukum tidak bisa dipisahkan seperi hadih maja, “Hukôm ngoen adat lagee zat ngoen sifeut.”
ADAT ISTIADAT DAN KEBUDAYAAN MASYARAKAT ACEH
Aceh adalah salah satu daerah yang paling awal menerima agama Islam. Dan sebagian besar masyarakat Aceh beragama Islam. Oleh karena itu propinsi ini dikenal dengan sebutan “Serambi Mekah”, maksudnya “pintu gerbang” yang paling dekat antara Indonesia dengan tempat dari mana agama tersebut berasal. Meskipun demikian kebudayaan asli Aceh tidak hilang begitu saja, sebaliknya beberapa unsur kebudayaan setempat mendapat pengaruh dan berbaur dengan kebudayaan Islam. Dengan demikian kebudayaan hasil akulturasi tersebut melahirkan corak kebudayaan Islam-Aceh yang khas. Di dalam kebudayaan tersebut masih terdapat sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme.
Aceh merupakan kawasan yang sangat kaya dengan seni budaya galibnya wilayah Indonesia lainnya. Aceh mempunyai aneka seni budaya yang khas seperti tari-tarian, dan budaya lainnya seperti:
• Didong (seni pertunjukan dari masyarakat Gayo)
• Meuseukee Eungkot (sebuah tradisi di wilayah Aceh Barat)
• Peusijuek (atau Tepung tawar dalam tradisi Melayu)
Sastra
• Bustanussalatin
• Hikayat Prang Sabi
• Hikayat Malem Diwa
• Legenda Amat Rhah manyang
• Legenda Putroe Neng
Senjata tradisional
Rencong adalah senjata tradisional Aceh, bentuknya menyerupai huruf L, dan bila dilihat lebih dekat bentuknya merupakan kaligrafi tulisan bismillah. Rencong termasuk dalam kategori dagger atau belati (bukan pisau ataupun pedang).
Selain rencong, bangsa Aceh juga memiliki beberapa senjata khas lainnya, seperti siwah, geuliwang dan peudeueng.
Rumah Tradisional
Rumah tradisional Aceh di Museum Aceh
Rumah tradisonal suku Aceh dinamakan Rumoh Aceh. Rumah adat ini bertipe rumah panggung dengan 3 bagian utama dan 1 bagian tambahan. Tiga bagian utama dari rumah Aceh yaitu seuramoë keuë (serambi depan), seuramoë teungoh (serambi tengah) dan seuramoë likôt (serambi belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya yaitu rumoh dapu (rumah dapur).
Tarian
Provinsi Aceh yang memiliki setidaknya 10 suku bangsa, memiliki kekayaan tari-tarian yang sangat banyak dan juga sangat mengagumkan. Beberapa tarian yang terkenal di tingkat nasional dan bahkan dunia merupakan tarian yang berasal dari Aceh, seperti Tari Rateb Meuseukat dan Tari Saman.
Tarian Suku Aceh
• Tari Laweut
• Tari Likok Pulo
• Tari Pho
• Tari Ranup Lampuan
• Tari Rapai Geleng
• Tari Rateb Meuseukat
• Tari Ratoh Duek
• Tari Seudati
• Tari Tarek Pukat
Tarian Suku Gayo
• Tari Saman
• Tari Bines
• Tari Didong
• Tari Guel
• Tari Munalu
• Tari Turun Ku Aih Aunen
Tarian Suku Lainnya
• Tari Ula-ula Lembing
• Tari Mesekat
•
Tari Seudati di Sama Langa tahun 1907
•
Tari Saman dari Gayo Lues
•
Tari Guel, khas Suku Gayo
•
Tari Didong
Makanan Khas
Aceh mempunyai aneka jenis makanan yang khas. Antara lain timphan, gulai itik, kari kambing yang lezat, Gulai Pliek U dan meuseukat yang langka. Di samping itu emping melinjo asal kabupaten Pidie yang terkenal gurih, dodol Sabang yang dibuat dengan aneka rasa, ketan durian (boh drien ngon bu leukat), serta bolu manis asal Peukan Bada, Aceh Besar juga bisa jadi andalan bagi Aceh.
PAKAIAN ADAT ACEH
Pakaian adat Aceh yang digunakan kaum perempuan atau kaum lelaki, memiliki bentuk sendiri meskipun coraknya sama. Yang membedakannya adalah atribut, baik itu pakaian adat resmi maupun yang digunakan keseharian.
Untuk pakaian adat yang dikenakan kaum laki-laki berwana hitam. Warna hitam bagi masyarakat Acehbermakna kebesaran adat. Maka bila seseorang mengenakan baju dan celana hitam berarti orang tersebut dalam pandangan masyarakat Aceh sedang memakai pakaian kebesarannya. Ini bedanya dengan masyarakat di daerah lain, bila memakai pakaian warna hitam, itu bisa berarti mereka sedang berkabung karena sesuatu musibah yang dialaminya. Tetapi tidak untuk masyarakat Aceh. Di Aceh pengantin laki-laki wajib menggunaka pakaian berwarna hitam dan tidak boleh mengenakan pakaian warna lain. Begitu juga untuk upacara-upacara adat diwajibkan menggunakan pakian warna hitam
UPACARA PERKAWINAN MASYARAKAT ACEH
UPACARA PERKAWINAN ADAT ACEH
• Tahapan Melamar (Ba Ranub)
Untuk mencarikan jodoh bagi anak lelaki yang sudah dianggap dewasa maka pihak keluarga akan mengirim seorang yang bijak dalam berbicara (disebut theulangke) untuk mengurusi perjodohan ini. Jika theulangke telah mendapatkan gadis yang dimaksud maka terlabih dahulu dia akan meninjau status sang gadis. Jika belum ada yang punya, maka dia akan menyampaikan maksud melamar gadis itu.
Pada hari yang telah di sepakati datanglah rombongan orang2 yang dituakan dari pihak pria ke rumah orang tua gadis dengan membawa sirih sebagai penguat ikatan berikut isinya seperti gambe, pineung reuk, gapu, cengkih, pisang raja, kain atau baju serta penganan khas Aceh. Setelah acara lamaran iini selesai, pihak pria akan mohon pamit untuk pulang dan keluarga pihak wanita meminta waktu untuk bermusyawarah dengan anak gadisnya mengenai diterima-tidaknya lamaran tersebut.
• Tahapan Pertunangan (Jakba Tanda)
Bila lamaran diterima, keluarga pihak pria akan datang kembali untuk melakukan peukeong haba yaitu membicarakan kapan hari perkawinan akan dilangsungkan, termasuk menetapkan berapa besar uang mahar (disebut jeunamee) yang diminta dan beberapa banyak tamu yang akan diundang. Biasanya pada acara ini sekaligus diadakan upacara pertunangan (disebut jakba tanda)
acara ini pihak pria akan mengantarkan berbagai makanan khas daerah Aceh, buleukat kuneeng dengan tumphou, aneka buah-buahan, seperangkat pakaian wanita dan perhiasan yang disesuaikan dengan kemampuan keluarga pria. Namun bila ikatan ini putus ditengah jalan yang disebabkan oleh pihak pria yang memutuskan maka tanda emas tersebut akan dianggap hilang. Tetapi kalau penyebabnya adalah pihak wanita maka tanda emas tersebut harus dikembalikan sebesar dua kali lipat.
• Persiapan Menjelang Perkawinan
Seminggu menjelang akad nikah, masyarakat aceh secara bergotong royong akan mempersiapkan acara pesta perkawinan. Mereka memulainya dengan membuat tenda serta membawa berbagai perlengkapan atau peralatan yang nantinya dipakai pada saat upacara perkawinan. Adapun calon pengantin wanita sebelumnya akan menjalani ritual perawatan tubuh dan wajah serta melakukan tradisi pingitan. Selam masa persiapan ini pula, sang gadis akan dibimbing mengenai cara hidup berumah tangga serta diingatkan agar tekun mengaji.
Selain itu akan dialksanakan tradisi potong gigi (disebut gohgigu) yang bertujuan untuk meratakan gigi dengancara dikikir. Agar gigi sang calon pengantin terlihat kuat akan digunakan tempurung batok kelapa yang dibakar lalu cairan hitam yang keluar dari batok tersebut ditempelkan pada bagian gigi. Setelah itu calon pengantin melanjutkan dengan perawatan luluran dan mandi uap.
Selain tradisi merawat tubuh, calon pengantin wanita akan melakukan upacara kruet andam yaitu mengerit anak rambut atau bulu-bulu halus yang tumbuh agar tampak lebih bersih lalu dilanjutkan dengan pemakaian daun pacar (disebut bohgaca) yang akan menghiasi kedua tangan calon pengantin. Daun pacar ini akan dipakaikan beberapa kali sampai menghasilkan warna merah yang terlihat alami.
Setelah itu, acara dilanjutkan dengan mengadakan pengajian dan khataman AlQuran oleh calon pengantin wanita yang selanjutnya disebut calon dara baro (CBD).Sesudahnya, dengan pakaian khusus, CBD mempersiapkan dirinya untuk melakukan acara siraman (disebut seumano pucok) dan didudukan pad asebuah tikaduk meukasap.
Dalam acara ini akan terlihat beberapa orang ibu akan mengelilingi CBD sambil menari-nari dan membawa syair yang bertujuan untuk memberikan nasihat kepada CBD. Pada saat upacara siraman berlangsung, CBD akan langsung disambut lalu dipangku oleh nye’wanya atau saudara perempuan dari pihak orang tuanya. Kemudian satu persatu anggota keluarga yang dituakan akan memberikan air siraman yang telah diberikan beberapa jenis bunga-bungaan tertentu dan ditempatkan pada meundam atau wadah yang telah dilapisi dengan kain warna berbeda-beda yang disesuaikan dengan silsilah keluarga.
• Upacara Akad Nikah dan Antar Linto
Pada hari H yang telah ditentukan, akan dilakukan secara antar linto (mengantar pengantin pria). Namun sebelum berangkat kerumah keluarga CBD, calon pengantin pria yang disebut calon linto baro(CLB) menyempatkan diri untuk terlebih dahulu meminta ijin dan memohon doa restu pada orang tuanya. Setelah itu CLB disertai rombongan pergi untuk melaksanakan akad nikah sambil membawa mas kawin yang diminta dan seperangkat alat solat serta bingkisan yang diperuntukan bagi CDB.
Sementara itu sambil menunggu rombongan CLB tiba hingga acara ijab Kabul selesai dilakukan, CDB hanya diperbolehkan menunggu di kamarnya. Selain itu juga hanya orangtua serta kerabat dekat saja yang akan menerima rombongan CLB. Saat akad nikah berlangsung, ibu dari pengantin pria tidak diperkenankan hadir tetapi dengan berubahnya waktu kebiasaan ini dihilangkan sehingga ibu pengantin pria bisa hadir saat ijab kabul. Keberadaan sang ibu juga diharapkan saat menghadiri acara jamuan besan yang akan diadakan oleh pihak keluarga wanita.
Setelah ijab kabul selesai dilaksanakan, keluarga CLB akan menyerahkan jeunamee yaitu mas kawin berupa sekapur sirih, seperangkat kain adat dan paun yakni uang emas kuno seberat 100 gram. Setelah itu dilakukan acara menjamu besan dan seleunbu linto/dara baro yakin acara suap-suapan di antara kedua pengantin. Makna dari acara ini adalah agar keduanya dapat seiring sejalan ketika menjalani biduk rumah tangga.
• Upacara Peusijeuk
Yaitu dengan melakukan upacara tepung tawar, memberi dan menerima restu dengan cara memerciki pengantin dengan air yang keluar dari daun seunikeuk, akar naleung sambo, maneekmano, onseukee pulut, ongaca dan lain sebagainya minimal harus ada tiga yang pakai. Acara ini dilakukan oleh beberapa orang yang dituakan(sesepuh) sekurangnya lima orang.
Tetapi saat ini bagi masyarakat Aceh kebanyakan ada anggapan bahwa acara ini tidak perlu dilakukan lagi karena dikhawatirkan dicap meniru kebudayaan Hindu. Tetapi dikalangan ureungchik (orang yang sudah tua dan sepuh) budaya seperti ini merupakan tata cara adat yang mutlak dilaksanakan dalam upacara perkawinan. Namun kesemuanya tentu akan berpulang lagi kepada pihak keluarga selaku pihak penyelenggara.
UPACARA PERKAWINAN MASYARAKAT ACEH GAYO
“ Tradisi pembasuhan kaki pengantin pria dalam perkawinan masyarakat Gayo Tidak dilakukan oleh pengantin wanita, tetapi oleh adik perempuan pengantin wanita “
Secara garis besar, kebudayaan Gayo, terdiri dari beberapa unsur yaitu kebudayaan Gayo Lues, yang berpusat disekitar Aceh Tenggara, kebudayaan Gayo Serbejadi di kawasan Aceh Timur, kebudayaan Gayo Linge dan kebudayaan Lut di Aceh Tengah. Setiap unsur kebudayaan dari tiap suku bangsa tersebut tentu saja memiliki keunikan dan kekayaan tradisi masing – masing dimana di dalamnya juga terkandung nilai – nilai luhur untuk kemuliaan hidup. Tak terkecuali kebudayaan masyarakat Gayo yang berada di sekitar kawasan Takengon Aceh Tengah ( Gayo Lut ) saat mempersiapkan sebuah hajat besar seperti upacara perkawinan yang harus melewati beberapa tahapan adat, yang tiap tahapannya tersimpan makna yang sakral untuk kebahagiaan hidup rumah tangga pasangan pengantin. Berikut adalah beberapa tahapan prosesi upacara perkawinana masyarakat Gayo :
• RISIK KONO ( Perkenalan Keluarga )
Acara ini merupakan ajang perkenalan keluarga calon pengantin. Orang tua pengantin pria, biasanya di wakilkan oleh ibunya, akan menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan mereka untuk berbesan dengan orang tua pengantin wanita. Biasanya acara akan di mulai dengan ramah tamah serta senda gurau sebagai awal perkenalan dan barulah selanjutnya mengarah pada pembicaraan seriuz mengenai kemungkinan kedua keluarga ini bisa saling berbesan.
• MUNGINTE ( Meminang / Melamar )
Tahapan peminangan ini tidak dilakukan oleh orang tua pengantin pria secara langsung tetapi diwakilkan oleh utusan yang disebut telangkai atau telangke. Biasanya mereka terdiri dari tiga atau lima pasang suami – istri yang masih berkerabat dekat dengan orang tua pengantin pria.
Dalam acara ini yang banyak berperan adalah kaum ibu. Mereka datang sambil membawa bawaan yang antara lain berisi beras, tempat sirih lengkap dengan isinya, sejumlah uang, jarum dan benang. Barang bawaan ini disebut Penampong ni kuyu yang bermakna sebagai tanda pengikat agar keluarga pengantin wanita tidak menerima lamaran dari pihak lain.
Selanjutnya barang bawaan ini diserahkan dan ditinggal di rumah pengantin wanita sampai ada kepastian bahwa lamaran tersebut diterima atau tidak. Keluarga pengantin wanita diberi waktu sekitar 2-3 hari untuk memutuskan hal tersebut. Dalam waktu tersebut biasanya keluarga pengantin wanita akan mencari sebanyak mungkin tentang informasi calon pengantin pria mulai dari bagaimana pribadinya, pendidikannya, agama, tingkah laku samapi ke soal bibit, bobot dan bebetnya. Jika lamaran diterima maka barang bawaan tersebut tidak dikembalikan lagi tetapi sebaliknya jika tidak, maka Penampong kayu akan dikembalikan pada pengantin pria lagi.
Setelah mendapat kepastian lamaran diterima selanjutnya akan dilakukan pembicaraan antara dua pihak keluarga mengenai kewajiban apa saja yang harus dipenuhi oleh keluarga masing – masing, termasuk membicarakan mengenai barang dan jumlah uang yang diminta oleh keluarga penganti wanita yang disebut sebagai acara Muno sah nemah ( Menetapkan bawaan )
Dalam pembicaraan ini keluarga pengantin pria akan diwakili oleh talangke yang harus pandai melakukan tawar menawar atau negosiasi dengan keluarga pengantin wanita. Sementara untuk mahar yang menentuakan adalah calon mempelai wanita sendiri dan mahar yang diminta tidak boleh ditawar lagi.
• TURUN CARAM ( Mengantar Uang )
Acara mengantar uang ini biasa dilakukan pada saat matahari mulai naik antara pukul 09.00 – 12.00 dengan harapan agar nantinya kehidupan rumah tangga pasangan pengantin ini, termasuk rezekinya akan selamanya bersinar.
• SEGENAP dan BEGENAP ( Musyawarah dan Keluarga )
Dalam acara ini akan dilakukan pembagian tugas saat acara pernikahan berlangsung. Yang mendapat tugas melakukan berbagai persiapan pesta perkawinan adalah para kerabat serta tetangga dekat. Acara akan berlangsung pada malam hari.
Pada malam begenap acara akan dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok orang tua yang akan membicarakan mengenai tata cara serah terima calon pengantin kepada Imam ( Pemuka Agama ) sementara kelompok kedua yaitu para muda – mudi yang berkelompok membuat kue onde – onde untuk disantap bersama – sama. Setelah itu datanglah utusan dari kelompok orang tua ke kelompok anak muda tersebut sambil membawa batil ( cerana ) lalu mereka makan sirih bersama sebagai tanda permintaan orang tua pengantin wanita agar muda mudi itu rela melepas salah satu teman mereka untuk menikah.
• BEGURU ( Pemberian Nasihat )
Acara ini didiadakan sesudah acara malam begenap yaitu pada pagi hari sesudah salat subuh. Beguru artinya belajar, dimana calon pengantin akan diberi berbagai nasehat dan petunjuk tentang bagaimana nantinya mereka bersikap dan berprilaku dalam membina rumah tangga. Acara beguru di rumah calon mempelai wanita ini biasanya akan diiringi juga dengan acara bersebuku ( meretap ) yaitu pengantin wanita melakukan sungkeman kapada kedua orang tuanya untuk memohaon restu dan doa.
• JEGE UCE ( Berjaga – jaga )
Acara ini dilaksanakan menjelang hari pernikahan. Disini para kerabat dan tetangga dekat akan berjaga – jaga sepanjang malam dengan melakukan berbagai kegiatan adat seperti acara guru didong ( berbalas pantun ) serta tari tarian. Pada malam itu calon pengantin wanita akan diberi inai oleh pihak ralik ( keluarga pengantin wanita ).
• BELULUT dan BEKUNE ( Mandi dan Kerikan )
Dahi, pipi dan tengkuk calon pengantin wanita akan dikerik oleh juru rias atau wakil keluarga ibunya yang paling dekat setelah sebelumnya dilakukan acara mandi bersama di kediaman masing – masing yang disebuat acara belulut. Bekas bulu – bulu halus kerikan tadi selanjutnya akan ditaruh dalam sebuah wadah berisi air bersih dan dicampurkan dengan irisan jeruk purut untuk ditanam. Dipercayai nantinya rambut pengantin akan tumbuh subur dan lebat..
• MUNALO ( Menjemput Pengantin Pria )
Pada hari dan tempat yang telah disepakati rombongan pengantin wanita yang dipimpin oleh telangkai, selanjutnya disebut sebagai pihak beru, sambil menabuh canang yang dilakukan oleh para gadis bersiap menunggu kedatangan rombongan penantin pria yang disebut pihak bei. Sementara itu pengantin wanita di rumahnya telah didandani dan menanti dalam kamar pengantin. Canang akan semakin keras ditabuh dan terdengar bersahutan ketika pihak bei sudah mulai kelihatan dari kejauhan.
Saat pihak bei telah tiba, tabuhan canang dihentikan dan pihak beru akan membuka percakapan sebagai ucapan selamat datang dan permohonan maaf jika terdapat kekurangan dalam acara penyambutan tersebut. Setelah itu dilakukan tarian guel dan sining serta saling berpantun. Disini pengantin pria akan diajak ikut menari bersama. Setelah itu calon pengantin pria diarak beramai ramai menuju kediaman pengantin wanita.
• MAH BEI ( Mwengarak Pengantin Pria )
Sebelum rombongan pengantin pria sampai ke rumah pengantin wanita, mereka akan terlebih dahulu berhenti di rumah persinggahan yang disebut Umah selangan selama 30 – 60 menit. Ditempat ini rombongan akan menanti datangnya kiriman makanan yang dibawa oleh utusan pihak beru. Bila kiriman itu dianggap berkenan maka rombongan akan melanjutkan perjalanan menuju rumah pengantin wanita, setelah mendengar kabar bahwa kelurga pengantin wanita telah siap menerima kedatangan. Sebaliknya bla tidak berkenan maka acara bisa tertunda bahkan batal. Dalam perjalanan ini, pengantin pria diapit telangkai yang bisanya terdirri dari dua orang laki – laki yang sudah
menikah. Pada acara ini orang tua mempelai pria boleh tidak mendampingi karena tugas tersebut telah diwakilkan.
Setibanya rombongan bei di rumah pengantin wanita, tiga orang ibu akan langsung datang menyambut dan saling bertukar batil tempat sirih lalu diadakan acara basuh kidding ( cuci kaki ) di depan pintu masuk. Uniknya yang melakukan acara basuh kidding ini adalah adik perempuan pengantin wanita. Jika pengantin wanita tidak memiliki adik perempuan maka tugas ini bisa digantikan oleh anak pakciknya. Setelah itu sebagai tanda terima kasih, pengantin pria akan memberikan sejumlah uang kepada adik pengantin wanita tersebut.
Selanjutnya pengantin pria akan melakukan acara tepung tawar yang dilakukan oleh keluarga pengantin wanita. Sambil dibimbing masuk rumah, pengantin pria akan diserahkan oleh keluarganya dan didudukkan berhadapan dengan ayah pengantin wanita untuk acara akad nikah yang disebut acara Rempele ( Penyerahan ).
Sebelum akad nikah dimulai telah disiapkan satu gelas air putih, satu wadah kosong dan sepiring ketan kunung untuk melakukan tata acara adat. Selesai akad pengantin pria memberikan S apBatil Mangas kepada mertua laki – lakinya. Selama akad berlangsung pengantn wanita yang telah didandani tetap tinggal di dalam kamar sambil menunggu dipertemukan dengan suaminya. Acara inilah yang disebut kamar dalem.
• MUNENES ( Ngunduh Mantu )
Acara ini sebagai simbol perpisahan antara pengantin wanita dengan orang tuanya karena telah bersuami dan akan berpisah tempat tnggal, termasuk juga sebagai acara perpisahan di masa lajang ke kehidupan berkeluarga. Pengantin wanita akan diantar ke rumah pengantin pria sambil membawa barang – barangnya dari peralatan rumah tangga sampai bekal memulai hidup baru. Setelah itu diadakan acara makan bersama. Biasanya setelah tujuh hari pengantin wanita berada di rumah pengantin pria, orang tua pengantin pria akan dating ke rumah besannya sambil membawa nasi beserta lauk pauk. Acara yang disebut Mah Kero Opat Ingi ini bertujuan untuk lebih saling mengenal antar dua keluarga yang sudah bebesan.
Upacara Peutron Tanoh (Turun Tanah)
Upacara turun tanah (peutron tanoh) diadakan setelah bayi berumur tujuh hari atau 2 tahun. Dalam jangka waktu yang cukup untuk mempersiapkannya, lebih-lebih anak pertama yang sering diadakan upacara cukup besar, dengan memotong kerbau atau lembu. Pada upacara ini bayi digendong oleh seseorang yang terpandang, baik perangai dan budi pekertinya. Orang yang menggendong memakai pakaian yang bagus-bagus. Waktu turun dari tangga ditundungi dengan sehelai kain yang dipegang oleh empat orang pada setiap sisi kain itu. Di atas kain tersebut dibelah kelapa agar bayi tadi tidak takut terhadap suara petir. Belahan kelapa dilempar dan sebelah lagi dilempar kepada wali karong. Salah seorang keluarga dengan bergegas menyapu tanah dan yang lain menampi beras bila bayi itu perempuan, sedangkan bila bayi itu laki-laki salah seorang keluarga tersebut mencangkul tanah, mencencang batang pisang atau batang tebu. Kemudian sejenak bayi itu dijejakkan di atas tanah dan akhirnya dibawa berkeliling rumah atau mesjid sampai bayi itu dibawa pulang kembali ke rumah
Tradisi Makan dan Minum
Makanan pokok masyarakat Aceh adalah nasi. Perbedaan yang cukup menyolok di dalam tradisi makan dan minum masyarakat Aceh dengan masyarakat lain di Indonesia adalah pada lauk-pauknya. Lauk-pauk yang biasa dimakan oleh masyarakat Aceh sangat spesifik dan bercitra rasa seperti masakan India. Lauk-pauk utama masyarakat Aceh dapat berupa ikan, daging (kambing/sapi). Di antara makanan khas Aceh adalah gulai kambing (Kari Kambing), sie reboih, keumamah, eungkot paya (ikan Paya), mie Aceh, dan Martabak. Selain itu, juga ada nasi gurih yang biasa dimakan pada pagi hari. Sedangkan dalam tradisi minum pada masyarakat Aceh adalah kopi.
HUKUM ADAT MASYARAKAT ACEH
Aceh adalah salah satu provinsi di
Indonesia yang sangat menjunjung tinggi adat istiadat dalam masyarakatnya. Hal ini terlihat dengan masih berfungsinya institusi-institusi adat di tingkat gampông atau mukim. Meskipun Undang-undang no 5 tahun 1975 berusaha menghilangkan fungsi mukim, keberadaan Imum Mukim di Aceh masih tetap diakui dan berjalan. Hukum adat di Aceh tetap masih memegang peranan dalam kehidupan masyarakat.
Dalam masyarakat Aceh yang sangat senang menyebut dirinya dengan
Ureueng Aceh terdapat institusi-institusi adat di tingkat gampông dan mukim. Institusi ini juga merupakan lembaga pemerintahan. Jadi, setiap kejadian dalam kehidupan bermasyarakat,
Ureueng Aceh selalu menyelesaikan masalah tersebut secara adat yang berlaku dalam masyarakatnya. Pengelolaan sumber daya alam pun di atur oleh lembaga adat yang sudah terbentuk.
Lembaga-lembaga adat dimaksud seperti
Panglima Uteun, Panglima Laot, Keujruen Blang, Haria Pekan, Petua Sineubok. Semua lembaga ini berperan di posnya masing-masing sehingga pengelolaan sumberdaya alam di gampông trepelihara.
Misalnya, Panglima Laot yang bertugas mengelola segala hal berkaitan dengan laut dan hasilnya. Tentunya semua hal berkaitan dengan laut diatur oleh lembaga tersebut. Begitu pun dengan lembaga lainnya.
Lembaga-lembaga adat itu sekarang terkesan hilang dalam masyarakat Aceh, karena derasnya arus globalisasi dan westernisasi yang mencoba merobah peradaban masyarakat Aceh. Padahal, jika lembaga-lembaga adat tersebut dihidupkan pada suatu gampông, kampung tersebut akan tetap kokoh seperti jayanya masa-masa kesultanan Aceh.
Salah satu contoh kokohnya masyarakat dengan peranan lembaga adat seperti terlihat di Gampông Barô. Kampung yang dulunya berada di pinggir pantai, namun tsunami menelan kampung mereka. Berkat kepercayaan masyarakat kepada pemangku-pemangku adat di kampungnya, masyarakat Gampông Barô sekarang sudah memiliki perkampungan yang baru, yaitu di kaki bukit desa Durung, Aceh Besar.
Tak pernah terjadi kericuhan dalam masyarakatnya, sebab segala macam kejadian, sampai pada pembagian bantuan pun masyarakat percaya penuh kepada lembaga adat yang sudah terbentuk. Nilai musyawarah dalam masyarakat adat memegang peranan tertinggi dalam pengambilan keputusan.
Kasus lain pernah terjadi di tahun 1979. Ketika itu desa Lam Pu’uk selisih paham dengan desa Lam Lhom. Kasus itu terhitung rumit karena membawa nama desa, namun masalah dapat diselesaikan secara adat oleh Imum Mukim. Ini merupakan bukti kokohnya masyarakat yang menjunjung tinggi adat istiadat yang berlaku. Mereka tidak memerlukan polisi dalam menyelesaikan masalah sehingga segala macam bentuk masalah dapat diselesaikan dengan damai tanpa dibesar-besarkan oleh pihak luar.
Jika kita lihat hukum yang dipakai oleh aparatur negara (polisi), selalu berujung pada penjara dan denda. Penyalahgunaan hukum oleh aparatur penegak hukum itu pun sering kita dengar. Misalkan saja ketika seseorang silap tak memakai helm di jalan raya. Orang itu langsung dijatuhi denda sampai Rp 50 ribu. Hal ini pernah menimpa beberapa pengendara sepeda motor yang melintas di jalan depan Perpustakaan Daerah NAD. Ketika yang melakukan kesalahan adalah penegak hukum atau kerabatnya,
orang tersebut bisa bebas begitu saja. Artinya hukum yang dipakai tidak berlaku pada penegak hukum.
Dalam hukum adat semua jenis pelanggaran memiliki jenjang penyelesaian yang selalu dipakai dan ditaati masyarakat. Hukum dalam adat Aceh tidak langsung diberikan begitu saja meskipun dalam hukum adat juga mengenal istilah denda. Dalam hukum adat jenis penyelesaian masalah dan sanksi dapat dilakukan terlebih dahulu dengan menasihati. Tahap kedua teguran, lalu pernyataan maaf oleh yang bersalah di hadapan
orang banyak (biasanya di meunasah/ mesjid), kemudian baru dijatuhkan denda. Artinya, tidak langsung pada denda sekian rupiah. Jenjang penyelesaian ini berlaku pada siapa pun, juga perangkat adat sekalipun.
Menilik hukum yang diselenggarkan oleh aparatur hukum negara ini, apakah sudah sesuai dengan syariat Islam jika dengan segampangnya meminta uang denda kepada
orang yang silap tidak mengenakan helm tanpa menasihati dan memperingati terlebih dahulu? Oleh karena Aceh ini sudah diterapkan syariat Islam, hukum di Aceh hendaknya jangan bertentangan dengan hukum Islam. Islam tidak pernah memberatkan atau mempersulit penganutnya. Hukum adat di Aceh selalu berpedoman kepada alquran dan assunnah. Hal ini juga sesuai dengan qanun NAD nomor 7 tahun 2000 bab II pasal 2.
Lahirnya UU no.11 tahun 2006 memperlihatkan pemerintah
Indonesia telah mulai berpihak kepada rakyat Aceh. Di
sana mulai diakui keberadaan mukim dan gampông serta lembaga adat lainnya.
Dijelaskan dalam bab XIII pasal 98, bahwa lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan Aceh di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat.
Lembaga-lembaga adat dimaksud ada yang di tingkat gampông dan ada yang di tingkat mukim. Jika lembaga adat ini diberikan wewenang sesuai undang-undang dan peraturan yang berlaku dalam masyarakat,
niscaya sumber daya alam di gampông tersebut lestari dan terjaga. Maka masyarakat Aceh akan kembali jaya seperti zaman kesultanan dahulu, karena hukum adat selalu pro rakyat.
DAFTAR PUSTAKA
www.wikipedia.com/provinsiaceh
www.kompas.com/upacaraperkawinanaceh
http://hermanrn.blogspot.com/hukumadatmasyarakataceh
www.wikipedia.com/sukuaceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar