MAKNA PEMBANGUNAN NASIONAL
PENGERTIAN PEMBANGUNAN
Teori pembangunan dalam ilmu sosial dapat dibagi ke dalam
dua paradigma besar, modernisasi dan ketergantungan (Lewwellen 1995, Larrin
1994, Kiely 1995 dalam Tikson, 2005). Paradigma modernisasi mencakup
teori-teori makro tentang pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial dan
teori-teori mikro tentang nilai-nilai individu yang menunjang proses perubahan.
Paradigma
ketergantungan mencakup teori-teori keterbelakangan (under-development)
ketergantungan (dependent development) dan sistem dunia (world system theory)
sesuai dengan klassifikasi Larrain (1994). Sedangkan Tikson (2005) membaginya
kedalam tiga klassifikasi teori pembangunan, yaitu modernisasi, keterbelakangan
dan ketergantungan. Dari berbagai paradigma tersebut itulah kemudian muncul
berbagai versi tentang pengertian pembangunan.
Pengertian pembangunan mungkin menjadi hal yang paling menarik untuk
diperdebatkan. Mungkin saja tidak ada satu disiplin ilmu yang paling tepat mengartikan
kata pembangunan. Sejauh ini serangkaian pemikiran tentang pembangunan
telah berkembang, mulai dari perspektif sosiologi klasik (Durkheim, Weber, dan
Marx), pandangan Marxis, modernisasi oleh Rostow, strukturalisme bersama
modernisasi memperkaya ulasan pendahuluan pembangunan sosial, hingga
pembangunan berkelanjutan. Namun, ada tema-tema pokok yang menjadi pesan di
dalamnya. Dalam hal ini, pembangunan dapat diartikan
sebagai `suatu upaya terkoordinasi untuk menciptakan alternatif yang lebih banyak
secara sah kepada setiap warga negara untuk memenuhi dan mencapai aspirasinya
yang paling manusiawi (Nugroho dan Rochmin Dahuri, 2004). Tema pertama adalah
koordinasi, yang berimplikasi pada perlunya suatu kegiatan perencanaan seperti
yang telah dibahas sebelumnya. Tema kedua adalah terciptanya alternatif yang lebih banyak secara sah.
Hal ini dapat diartikan bahwa pembangunan hendaknya berorientasi kepada
keberagaman dalam seluruh aspek kehidupan. Ada pun mekanismenya menuntut
kepada terciptanya kelembagaan dan hukum yang terpercaya yang mampu berperan
secara efisien, transparan, dan adil. Tema ketiga mencapai aspirasi yang paling
manusiawi, yang berarti pembangunan harus berorientasi kepada pemecahan masalah
dan pembinaan nilai-nilai moral dan etika umat.
Mengenai pengertian pembangunan, para ahli memberikan
definisi yang bermacam-macam seperti halnya perencanaan. Istilah pembangunan
bisa saja diartikan berbeda oleh satu orang dengan orang lain, daerah yang satu
dengan daerah lainnya, Negara satu dengan Negara lain. Namun secara umum
ada suatu kesepakatan bahwa pembangunan merupakan proses untuk melakukan
perubahan (Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005).
Siagian (1994) memberikan pengertian tentang pembangunan
sebagai “Suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang
berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah,
menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation
building)”. Sedangkan Ginanjar Kartasasmita
(1994) memberikan pengertian yang lebih sederhana, yaitu sebagai “suatu proses
perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara
terencana”.
Pada awal pemikiran tentang pembangunan sering ditemukan
adanya pemikiran yang mengidentikan pembangunan dengan perkembangan,
pembangunan dengan modernisasi dan industrialisasi, bahkan pembangunan dengan
westernisasi. Seluruh pemikiran tersebut didasarkan pada aspek perubahan, di
mana pembangunan, perkembangan, dan modernisasi serta industrialisasi, secara
keseluruhan mengandung unsur perubahan. Namun begitu, keempat hal tersebut
mempunyai perbedaan yang cukup prinsipil, karena masing-masing mempunyai latar
belakang, azas dan hakikat yang berbeda serta prinsip kontinuitas yang berbeda
pula, meskipun semuanya merupakan bentuk yang merefleksikan perubahan (Riyadi
dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005).
Pembangunan (development) adalah proses perubahan
yang mencakup seluruh system sosial, seperti politik, ekonomi, infrastruktur,
pertahanan, pendidikan dan teknologi, kelembagaan, dan budaya (Alexander 1994).
Portes (1976) mendefenisiskan pembangunan sebagai transformasi ekonomi, sosial
dan budaya. Pembangunan adalah proses perubahan yang direncanakan untuk
memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Menurut Deddy T. Tikson (2005) bahwa pembangunan nasional
dapat pula diartikan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya secara
sengaja melalui kebijakan dan strategi menuju arah yang diinginkan.
Transformasi dalam struktur ekonomi, misalnya, dapat dilihat melalui peningkatan
atau pertumbuhan produksi yang cepat di sektor industri dan jasa, sehingga
kontribusinya terhadap pendapatan nasional semakin besar. Sebaliknya,
kontribusi sektor pertanian akan menjadi semakin kecil dan berbanding terbalik
dengan pertumbuhan industrialisasi dan modernisasi ekonomi. Transformasi sosial
dapat dilihat melalui pendistribusian kemakmuran melalui pemerataan memperoleh
akses terhadap sumber daya sosial-ekonomi, seperti pendidikan, kesehatan,
perumahan, air bersih,fasilitas rekreasi, dan partisipasi dalam proses
pembuatan keputusan politik. Sedangkan transformasi budaya sering
dikaitkan, antara lain, dengan bangkitnya semangat kebangsaan dan
nasionalisme, disamping adanya perubahan nilai dan norma yang dianut
masyarakat, seperti perubahan dan spiritualisme ke materialisme/sekularisme.
Pergeseran dari penilaian yang tinggi kepada penguasaan materi, dari
kelembagaan tradisional menjadi organisasi modern dan rasional.
Dengan demikian, proses pembangunan terjadi di semua aspek
kehidupan masyarakat, ekonomi, sosial, budaya, politik, yang berlangsung pada
level makro (nasional) dan mikro (commuinity/group). Makna penting dari
pembangunan adalah adanya kemajuan/perbaikan (progress), pertumbuhan dan
diversifikasi.
Sebagaimana dikemukakan oleh para para ahli di atas, pembangunan adalah sumua proses perubahan yang dilakukan melalui
upaya-upaya secara sadar dan terencana. Sedangkan perkembangan adalah proses perubahan yang terjadi
secara alami sebagai dampak dari adanya pembangunan (Riyadi dan Deddy Supriyadi
Bratakusumah, 2005).
Dengan semakin meningkatnya kompleksitas kehidupan masyarakat
yang menyangkut berbagai aspek, pemikiran tentang modernisasi pun tidak lagi
hanya mencakup bidang ekonomi dan industri, melainkan telah merambah ke seluruh
aspek yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, modernisasi
diartikan sebagai proses trasformasi dan perubahan dalam masyarakat yang meliputi segala
aspeknya, baik ekonomi, industri, sosial, budaya, dan sebagainya.
Oleh karena dalam proses modernisasi itu terjadi suatu
proses perubahan yang mengarah pada perbaikan, para ahli manajemen pembangunan
menganggapnya sebagai suatu proses pembangunan di mana terjadi proses perubahan
dari kehidupan tradisional menjadi modern, yang pada awal mulanya ditandai
dengan adanya penggunaan alat-alat modern, menggantikan alat-alat yang tradisional.
Selanjutnya seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan,
termasuk ilmu-ilmu sosial, para Ahli manajemen pembangunan terus berupaya untuk
menggali konsep-konsep pembangunan secara ilmiah. Secara sederhana pembangunan
sering diartikan sebagai suatu upaya untuk melakukan perubahan menjadi lebih
baik. Karena perubahan yang dimaksud adalah menuju arah peningkatan dari
keadaan semula, tidak jarang pula ada yang mengasumsikan bahwa pembangunan
adalah juga pertumbuhan. Seiring dengan perkembangannya hingga saat ini belum
ditemukan adanya suatu kesepakatan yang dapat menolak
asumsi tersebut. Akan tetapi untuk dapat membedakan keduanya tanpa harus
memisahkan secara tegas batasannya, Siagian (1983) dalam bukunya Administrasi
Pembangunan mengemukakan, “Pembangunan sebagai suatu perubahan, mewujudkan
suatu kondisi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang lebih baik dari
kondisi sekarang, sedangkan pembangunan sebagai suatu pertumbuhan menunjukkan
kemampuan suatu kelompok untuk terus berkembang, baik secara kualitatif
maupun kuantitatif dan merupakan sesuatu yang mutlak harus terjadi dalam
pembangunan.”
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa pada dasarnya pembangunan tidak dapat dipisahkan
dari pertumbuhan, dalam arti bahwa pembangunan dapat menyebabkan terjadinya
pertumbuhan dan pertumbuhan akan terjadi sebagai akibat adanya pembangunan.
Dalam hal ini pertumbuhan dapat berupa pengembangan/perluasan (expansion)
atau peningkatan (improvement) dari aktivitas yang dilakukan oleh suatu
komunitas masyarakat.
B. Evolusi dan Pergeseran Makna Pembangunan
Secara tradisional pembangunan memiliki arti peningkatan
yang terus menerus pada Gross Domestic Product atau Produk
Domestik Bruto suatu negara. Untuk daerah, makna pembangunan yang tradisional
difokuskan pada peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
suatu provinsi, kabupaten, atau kota (Kuncoro, 2004).
Namun, muncul kemudian sebuah alternatif definisi
pembangunan ekonomi menekankan pada peningkatan income per capita (pendapatan per kapita). Definisi ini
menekankan pada kemampuan suatu negara untuk meningkatkan output yang dapat
melebihi pertumbuhan penduduk. Definisi pembangunan tradisional sering dikaitkan dengan sebuah strategi
mengubah struktur suatu negara atau sering kita kenal dengan industrialisasi.
Kontribusi mulai digantikan dengan kontribusi industri. Definisi yang cenderung
melihat segi kuantitatif pembangunan ini dipandang perlu menengok
indikator-indikator sosial yang ada (Kuncoro, 2004).
Paradigma pembangunan modern memandang suatu pola yang
berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Pertanyaan beranjak
dari benarkah semua indikator ekonomi memberikan gambaran kemakmuran. Beberapa ekonom
modern mulai mengedepankan dethronement of GNP (penurunan tahta pertumbuhan ekonomi), pengentasan garis kemiskinan,
pengangguran, distribusi pendapatan yang semakin timpang, dan penurunan tingkat
pengangguran yang ada. Teriakan para ekonom ini membawa perubahan dalam
paradigma pembangunan menyoroti bahwa pembangunan harus dilihat sebagai suatu
proses yang multidimensional (Kuncoro, 2003). Beberapa ahli
menganjurkan bahwa pembangunan suatu daerah haruslah mencakup tiga inti nilai
(Kuncoro, 2000; Todaro, 2000):
1. Ketahanan (Sustenance): kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok (pangan, papan, kesehatan, dan
proteksi) untuk mempertahankan hidup.
2. Harga diri (Self Esteem): pembangunan haruslah memanusiakan orang. Dalam arti luas pembangunan suatu
daerah haruslah meningkatkan kebanggaan sebagai manusia yang berada di daerah
itu.
3. Freedom from servitude: kebebasan bagi
setiap individu suatu negara untuk berpikir, berkembang, berperilaku, dan
berusaha untuk berpartisipasi dalam pembangunan.
Selanjutnya, dari evolusi makna
pembangunan tersebut mengakibatkan terjadinya pergeseran makna pembangunan.
Menurut Kuncoro (2004), pada akhir dasawarsa 1960-an, banyak negara berkembang
mulai menyadari bahwa “pertumbuhan ekonomi” (economic growth)
tidak identik dengan “pembangunan ekonomi” (economic
development). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, setidaknya
melampaui negara-negara maju pada tahap awal pembangunan mereka, memang dapat
dicapai namun dibarengi dengan masalah-masalah seperti pengangguran, kemiskinan
di pedesaan, distribusi pendapatan yang timpang, dan ketidakseimbangan
struktural (Sjahrir, 1986). Ini pula agaknya yang memperkuat keyakinan bahwa
pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang diperlukan (necessary) tetapi
tidak mencukupi (sufficient) bagi proses pembangunan (Esmara,
1986, Meier, 1989 dalam Kuncoro, 2004). Pertumbuhan ekonomi hanya mencatat
peningkatan produksi barang dan jasa secara nasional, sedang pembangunan
berdimensi lebih luas dari sekedar peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Inilah yang menandai dimulainya masa pengkajian ulang
tentang arti pembangunan. Myrdal (1968 dalam Kuncoro, 2004), misalnya
mengartikan pembangunan sebagai pergerakan ke atas dari seluruh sistem sosial.
Ada pula yang menekankan pentingnya pertumbuhan dengan perubahan (growth
with change), terutama perubahan nilai-nilai dan kelembagaan. Dengan kata
lain, pembangunan ekonomi tidak lagi memuja GNP sebagai sasaran pembangunan,
namun lebih memusatkan perhatian pada kualitas dari proses pembangunan.
Dalam praktik pembangunan di banyak
negara, setidaknya pada tahap awal pembangunan umumnya berfokus pada
peningkatan produksi. Meskipun banyak varian pemikiran, pada dasarnya kata
kunci dalam pembangunan adalah pembentukan modal. Oleh karena itu, strategi pembangunan yang dianggap paling sesuai adalah
akselerasi pertumbuhan ekonomi dengan mengundang modal asing dan melakukan
industrialisasi. Peranan sumber
daya manusia (SDM) dalam strategi semacam ini hanyalah sebagai “instrumen” atau
salah satu “faktor produksi” saja. Manusia ditempatkan sebagai posisi
instrumen dan bukan merupakan subyek dari pembangunan. Titik berat pada nilai
produksi dan produktivitas telah mereduksi manusia sebagai penghambat
maksimisasi kepuasan maupun maksimisasi keuntungan.
Konsekuensinya, peningkatan kualitas
SDM diarahkan dalam rangka peningkatan produksi. Inilah yang disebut sebagai pengembangan SDM dalam
kerangka production
centered development (Tjokrowinoto, 1996). Bisa dipahami
apabila topik pembicaraan dalam perspektif paradigma pembangunan yang semacam
itu terbatas pada masalah pendidikan, peningkatan ketrampilan, kesehatan, link and match, dan sebagainya. Kualitas manusia yang meningkat
merupakan prasyarat utama dalam proses produksi dan memenuhi tuntutan
masyarakat industrial. Alternatif lain
dalam strategi pembangunan manusia adalah apa yang disebut sebagai people-centered development atau panting people first (Korten, 1981 dalam Kuncoro, 2004). Artinya, manusia (rakyat) merupakan
tujuan utama dari pembangunan, dan kehendak serta kapasitas manusia merupakan
sumber daya yang paling penting Dimensi pembangunan yang semacam ini jelas
lebih luas daripada sekedar membentuk manusia profesional dan trampil sehingga
bermanfaat dalam proses produksi. Penempatan manusia sebagai subyek
pembangunan menekankan pada pentingnya pemberdayaan (empowerment) manusia, yaitu kemampuan manusia untuk
mengaktualisasikan segala potensinya.
Sejarah mencatat munculnya paradigma baru dalam
pembangunan seperti pertumbuhan dengan distribusi, kebutuhan pokok (basic needs) pembangunan mandiri (self-reliant development), pembangunan berkelanjutan dengan
perhatian terhadap alam (ecodevelopment), pembangunan yang memperhatikan
ketimpangan pendapatan menurut etnis (ethnodevelomment) (Kuncoro, 2003). paradigma ini secara ringkas dapat dirangkum
sebagai berikut:
1.
Para proponen strategi “pertumbuhan dengan distribusi”, atau “redistribusi dari
pertumbuhan”, pada hakekatnya menganjurkan agar tidak hanya memusatkan
perhatian pada pertumbuhan ekonomi (memperbesar “kue” pembangunan) namun juga
mempertimbangkan bagaimana distribusi “kue” pembangunan tersebut. lni bisa
diwujudkan dengan kombinasi strategi seperti peningkatan kesempatan kerja,
investasi modal manusia, perhatian pada petani kecil, sektor informal dan
pengusaha ekonomi lemah.
2.
Strategi pemenuhan kebutuhan pokok dengan demikian telah mencoba memasukkan
semacam “jaminan” agar setiap kelompok sosial yang paling lemah mendapat
manfaat dari setiap program pembangunan.
3.
Pembangunan “mandiri” telah muncul
sebagai kunsep strategis dalam forum internasional sebelum kunsep “Tata Ekonomi
Dunia Baru” (NIEO) lahir dan menawarkan anjuran kerja sama yang menarik
dibanding menarik diri dari percaturan global.
4.
Pentingnya strategi ecodevelopment, yang intinya mengatakan bahwa masyarakat dan ekosistem di
suatu daerah harus berkembang bersama-sama menuju produktivitas dan pemenuhan
kebutuhan yang lebih tinggi; namun yang paling utama adalah, strategi
pembangunan ini harus berkelanjutan baik dari sisi ekologi maupun sosial.
5.
Sejauh ini baru Malaysia yang secara terbuka memasukkan konsep ecodevelopment dalam formulasi Kebijaksanaan Ekonomi
Baru-nya (NEP). NEP dirancang dan digunakan untuk menjamin agar buah
pembangunan dapat dirasakan kepada semua warga negara secara adil, baik ia dari
komunitas Cina, India, dan masyarakat pribumi Malaysia (Faaland, Parkinson,
& Saniman, 1990 dalam Kuncoro, 2004).
MAKNA
PEMBANGUNAN NASIONAL
Pembangunan
nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia
secara berkelanjutan dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta memperhatikan tantangan perkembangan global. Pelaksanaannya
mengacu pada kepribadian bangsa dan nilai luhur yang universal untuk mewujudkan
kehidupan bangsa yang berdaulat, mandiri, berkeadilan, sejahtera, maju, serta
kukuh kekuatan moral dan etikanya. Tujuan pembangunan nasional itu sendiri
adalah sebagai usaha untuk meningkatkan kesejahreraan seluruh bangsa Indonesia.
Dan pelaksanaannya bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga
merupakan ranggung jawab seluruh rakyat Indonesia. Maksudnya adalah setiap
warga negara Indonesia harus ikut serta dan berperan dalam melaksanakan
pembangunan sesuai dengan profesi dan kemampuan masing-masing.
Keikursertaan setiap warga negara dalam pembangunan nasional dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti mengikuti program wajib belajar, membayar pajak, melestarikan lingkungan hidup, mentaati segala peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, menjaga ketertiban dan keamanan, dan sebagainya.
Pembangunan nasional mencakup hal-hal yang bersifat lahiriah maupun batiniah yang selaras, serasi, dan seimbang. Itulah sebabnya pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang seutuhnya, yakni sejahtera lahir dan batin.
Pembangunan yang bersifat lahiriah dilaksanakan untuk memenuhikebutuhan hajat hidup fisik manusia, misalnya sandang, pangan, perumahan, pabrik, gedung perkantoran, pengairan, sarana dan prasarana transportasi dan olahraga, dan sebagainya. Sedangkan contoh pembangunan yang bersifat batiniah adalah pembangunan sarana dan prasarana ibadah, pendidikan, rekreasi, hiburan, kesehatan, dan sebagainya. Untuk mengetahui bagaimana proses pembangunan nasional itu berlangsung, kita harus memahami manajemen nasional yang te-rangkai dalam sebuah sistem.
Keikursertaan setiap warga negara dalam pembangunan nasional dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti mengikuti program wajib belajar, membayar pajak, melestarikan lingkungan hidup, mentaati segala peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, menjaga ketertiban dan keamanan, dan sebagainya.
Pembangunan nasional mencakup hal-hal yang bersifat lahiriah maupun batiniah yang selaras, serasi, dan seimbang. Itulah sebabnya pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang seutuhnya, yakni sejahtera lahir dan batin.
Pembangunan yang bersifat lahiriah dilaksanakan untuk memenuhikebutuhan hajat hidup fisik manusia, misalnya sandang, pangan, perumahan, pabrik, gedung perkantoran, pengairan, sarana dan prasarana transportasi dan olahraga, dan sebagainya. Sedangkan contoh pembangunan yang bersifat batiniah adalah pembangunan sarana dan prasarana ibadah, pendidikan, rekreasi, hiburan, kesehatan, dan sebagainya. Untuk mengetahui bagaimana proses pembangunan nasional itu berlangsung, kita harus memahami manajemen nasional yang te-rangkai dalam sebuah sistem.
Sumber internet
: